Pilkada 2024

LPI Ambil Bagian Literasi Seksisme Politik Selama Kampanye Pilkada 2024 Lewat Diskusi Publik

Literasi Pemuda Indonesia (LPI) menemukan serangan-serangan seksisme yang dilontarkan oleh para calon kepala daerah selama kampanye Pilkada 2024.

Tangkapan layar zoom
LPI menggelar diskusi publik bertajuk Marak Seksisme dan Olok-olok Janda di Kampanye Pilkada, Kok Masih Dipilih? yang digelar secara daring belum lama ini. 

"Salah satu kewajiban pemerintah adalah memberdayakan dan memfasilitaskan perempuan dalam kondisi negara yang penuh kerentanan," lanjut Luluk.

Kemudian akademisi Dwi Kartikawati menjelaskan alasan setidaknya mengapa praktik seksisme kerap dinormalisasi di era saat ini.

Menurut Dwi, budaya patriarki yang kuat serta hasil konstruksi secara sosial dari budaya, membuat praktik seksisme kerap dianggap lumrah di lingkungan, terutama dalam hal ini ranah kampanye politik.

"Rendahnya literasi etika dalam komunikasi politik, sehingga dapat menarik lawan atau untuk menjatuhkan lawannya," kata Dwi.

Bukan hanya itu, lanjut Dwi, diperlukannya regulasi yang kuat dan tegas guna mengatasi olok-olok terhadap perempuan dalam ranah politik.

"Padahal serangan (seksisme) personal yang gak ada kaitan dengan kapasitas politiknya," ujar dia.

Untuk itu, dirinya menyarankan kepada para peserta yang merupakan mahasiswa dari kalangan Generasi Z, untuk dapat menyaring konten-konten di media sosial.

"Jangan sampai menormalisasi dari diskriminasi gender, berperan aktif dalam menciptakan perubahan sebagai generasi muda, dan pintar dalam mengkonsumsi konten di media sosial," katanya.

Lalu dari pihak pemerintah ada Koordinator Divisi Humas Datin Bawaslu Daerah Khusus Jakarta, Quin Pegagan.

Dirinya menyatakan, bahwa praktik seksisme selama kampenya Pilkada 2024 perlu ada tindakan seperti menyerang balik.

"Narasi seksisme tidak sesuai harkat martabat di masyarakat dan menjadi pelajaran hal tersebut tidak dulangi lagi," kata Quin.

Narasai praktik seksisme dan olok-olok terhadap perempuan di Pilkada 2024 ini bisa dikategorikan sebagai kekerasan.

Dilakukan dengan tujuan meraih suara lebih banyak, praktik ini jelas telah merugikan perempuan secara personal, sosial, dan politik. 

Maka selain dapat mengikis partisipasti politik perempuan, praktik tersebut juga dapat menurunkan kualitas demokrasi suatu negara. (*)

Sumber: Tribun Priangan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved