Soal Beda Takaran Zakat Fitrah, Begini Penjelasan dari Dosen Unsil dan Sekum MUI Kota Tasikmalaya

Soal Perbedaan Takaran Zakat Fitrah, Begini Penjelasan dari Dosen Unsil dan Sekum MUI Kota Tasikmalaya

|
Editor: ferri amiril
istimewa
Soal Beda Takaran Zakat Fitrah, Begini Penjelasan dari Dosen Unsil dan Sekum MUI Kota Tasikmalaya 

TRIBUNPRIANGAN.COM, KOTA TASIKMALAYA - Acep Zoni Saeful Mubarok, Dosen Universitas Siliwangi dan Sekretaris Umum MUI Kota Tasikmalaya, memberikan pemahaman agar umat muslim tetap menyikapi dengan bijak adanya perbedaan zakat fitrah.

Acep mengatakan, zakat merupakan salah satu kewajiban bagi umat Islam yang harus ditunaikan sesuai aturan syari’at. Dalam konteks hukum Islam zakat merupakan syari’at yang perintahnya (khitab) secara jelas diperuntukan untuk para mukallaf (umat Islam). Dalil syar’i yang mendasari ini sangat banyak ditemukan baik dalam Al-Qur’an, al-hadits dan Ijma bahkan qiyas. 

Ia menjelaskan, beberapa turunan lain dari aturan tersebut didapatkan dari ijtihad para ulama yang bertujuan memberikan kemudahan kepada masyarakat awam dalam menunaikan ibadah zakat.

Dalam perkembangannya persoalan hukum Islam (termasuk zakat) semakin kompleks  seiring perubahan waktu dan perbedaan tempat. Bukannya syari’at yang harus tunduk terhadap situasi dan kondisi zaman, karena syariat adalah abadi, akan tetapi illat (alasan) hukum yang menjadikan terjadinya perubahan sesuai situasi dan kondisi. 

"Di sinilah kehadiran ijtihad sangat diperlukan dalam merespons perubahan zaman," ujar Acep melalui keterangan yang diterima TribunPriangan.com, siang ini.

Ia mengatakan, Ijtihad lahir untuk menjawab hukum yang lahir karena tidak terdapat landasan ekspilisit dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Atau memang karena persoalan-persoalan yang terjadi termasuk ke dalam kasus yang baru (muashirah). 

"Disini lah para ulama harus memeras keringat banting tulang memberikan jawaban hukum (fiqh) kepada masyarakat supaya dipedomani dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya," katanya.
 
Ia mengatakan, para ulama mujtahid sejak sejak era formatif (abad 2 H) sudah memberikan beraneka jawaban hukum (fiqh) untuk berbagai persoalan atau kasus hukum yang berkembang di dalam masyarakat dan pada masa waktu tertentu. 

Ini yang menyebabkan fiqih bersifat dinamis serta fleksibel menyesuaikan perubahan kondisi, keadaan, waktu maupun tempat. Hasil ijtihad para ulama saat itu tidak hanya bersifat aktual realistis (waqi’i) tapi juga melahiran pemikiran yang bersifat prediktif atau hipotesis (iftiradhi). 

Menurutnya, hukum yang terbit dari hasil ijtihad ini tidak terlepas dari situasi yang melatarbelakangi lahirnya hukum tersebut. 

Ia mengatakan termasuk dalam menentukan sha zakat fitrah sebagaimana hadits: ”Rasulullahِِ saw mewajibkan zakat fitri dengan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. 
Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Lebih lanjut Acep menjelaskan dalam memberikan pengertian sha ini para ulama berijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi yang melatarbelakangi pendapatnya. Inti utamanya ukuran yang wajib dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah ukuran 1 sha atau 4 mud yang apabila dikonversi ke ukuran kilogram menjadi beragam pendapat. Ada yang berpendapat bahwa 1 mud kurang lebih 6 ons sehingga jika dikalikan 4 menjadi 2,4 kg. 

Ada juga yang mengatakan kurang lebih 6,25 ons sehingga berkseimpulan 2,5 kg. Pendapat lain mengatakan kurang lebih 6,875 ons sehingga jika dikonversi menjadi 2,75 kg. Ada juga yang berpendapat kurang lebih 7 ons dan berkesimpulan 2,8 kg. Malah ada pendapat yang dianggap hati-hati (ihtiyat) 1 mud kurang lebih 7,5 sehingga konversi zakat fitrah sejumlah 3 kg.
 
"Dalam catatan ini, saya tidak akan mengutak-atik ijtihad para ulama yang diyakini berdasarkan pada penelitian yang matang. Akan tetapi akan mencoba mencermati dari sisi lain sehingga kita semua tidak saling mencerca, menghina, dan nyinyir atas pendapat yang dikeluarkan oleh siapapun. Apalagi bulan ini adalah Ramadhan yang harus diisi dengan kebeningan hati dan jiwa. Intinya Ramadhan harus diakhiri dengan zakat fitrah yang tanpa ekses," katanya.
 
Menurutnya, syari’at Islam lahir dengan tujuan limashalih al-ibad fi ad-darain (demi kemasalahatan hamba di dunia dan akhirat). Inti dari syari’at adalah bagaimana kemashlahatan diraih oleh manusia baik di dunia maupun akhirat. 

Baik dalam pelaksanaanya maupun pasca amaliyahnya. Tentu dalam pelaksanaannya tidak ada syariat yang menyulitkan bahkan memberatkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt yang artinya … Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran… (Q. 2: 185).

"Dalam hal pembayaran zakat, berbagai riset telah dilakukan terkait dengan takaran zakat fitrah. Majelis Ulama Indonesia telah menerbitkan fatwa Nomor: 65 Tahun 2022 Tentang Hukum Masalah-Masalah Terkait Zakat Fitrah yang intinya kadar zakat fitrah adalah 1 sha’ yang jika dikonversi ke beras menjadi 2,7 kg atau 3,5 liter. Inilah yang dijadikan sebagai pedoman dalam pengelolaan zakat fitrah oleh Badan Amil Zakat Nasional dan beberapa Lembaga Amil Zakat," katanya.

Namun dalam praktiknya tidak semua badan/lembaga mengikuti pendapat Majelis Ulama Indonesia, masih terdapat Badan/Lembaga Amil Zakat di daerah dan para ulama yang bersikukuh pada ijtihad ulama yang berbeda dengan takaran yang disampaikan oleh MUI. Baik karena alasan (illat hukum) berupa pengambilan pendapat kadar zakat fitrah yang berbeda maupun situasi kondisi masyarakat hari ini dianggap sedang dalam kesulitan bahan pokok. 

Sumber: Tribun Priangan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved