Kata Pengamat, Amputasi Demokrasi di Balik DPR RI Akali Putusan MK Soal Perubahan Threshold Pilkada

Kata Arlan, apa yang sudah menjadi putusan MK tidak di otak atik untuk kepentingan karena terkesan ada sesuatu yang dilakukan untuk amputasi demokrasi

Editor: Dedy Herdiana
Tribun Jabar/Hilman Kamaludin
Pengamat Politik dan Pemerintahan Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) Cimahi, Arlan Sidha. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Hilman Kamaludin

TRIBUNPRIANGAN.COM, BANDUNG - Pengamat Politik dari Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani), Arlan Siddha angkat bicara terkait langkah DPR RI yang berupaya mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas atau threshold pencalonan kepala daerah.

Diketahui, Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengakali putusan MK dengan membuat pelonggaran threshold itu hanya berlaku buat partai politik yang tak punya kursi DPRD.

Sidang putusan UU Pilkada di Gedung MK, Jakarta, Selasa (20/8/2024). Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengubah ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah, Selasa (20/8/2024). Hal itu berdasarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Partai Buruh dan Gelora.
Sidang putusan UU Pilkada di Gedung MK, Jakarta, Selasa (20/8/2024). Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengubah ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah, Selasa (20/8/2024). Hal itu berdasarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Partai Buruh dan Gelora. (Ibriza Fasti Ifhami/Tribunnews)

Baca juga: Ini Putusan MK Soal Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah dan Wakilnya di Pilkada

Sedangkan MK sudah memutuskan threshold pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen demi menghindari demokrasi yang tak sehat karena threshold versi Undang-undang Pilkada rentan memunculkan calon tunggal.

"Harusnya menghormati apa yang menjadi putusan MK, dalam konteks dejure terkait putusan Pilkada harusnya dihormati, kemudian dilaksanakan dan dijalankan. Apalagi dengan waktu yang lumayan mepet," ujar Arlan saat dihubungi, Rabu (21/8/2024) malam.

Atas hal tersebut, kata Arlan, apa yang sudah menjadi putusan MK tidak lagi di otak atik untuk kepentingan karena terkesan ada sesuatu yang sedang dilakukan atau dijalankan untuk melakukan amputasi demokrasi.

"Artinya kan ini seolah-olah sedang melakukan amputasi demokrasi, memotong dan memangkas demokrasi. Seharusnya apa yang sudah menjadi putusan MK tidak mudah dianulir walaupun secara aturannya memang ada," katanya.

Arlan mengatakan, MK dan DPR RI ini merupakan dua lembaga besar yang menjadi trust masyarakat. MK sebagai pemutus putusan yang janggal dalam konteks hukum, sementara DPR RI merupakan wakil rakyat.

"Ini menurut saya dua konsep yang harusnya tidak lagi dipermainkan karena efek domino sudah mulai terasa misalnya di sosial media muncul peringatan darurat," ucap Arlan.

Dengan munculnya peringatan darurat ini, kata dia, artinya ada sebuah gerakan sosial yang menunjukkan bahwa ada ketidaksepakatan atau keganjilan ketika menjalankan demokrasi.

"Jadi seharusnya sinyal-sinyal ini bisa ditangkap oleh para penguasa bahwa masyarakat sudah untrust atau sudah tidak percaya," katanya.

Baca juga: Terkait Putusan MK Syarat Pengusung Calon Kepala Daerah, KPU Pangandaran Menunggu Instruksi KPU RI

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved