Kata Pengamat, Amputasi Demokrasi di Balik DPR RI Akali Putusan MK Soal Perubahan Threshold Pilkada
Kata Arlan, apa yang sudah menjadi putusan MK tidak di otak atik untuk kepentingan karena terkesan ada sesuatu yang dilakukan untuk amputasi demokrasi
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Hilman Kamaludin
TRIBUNPRIANGAN.COM, BANDUNG - Pengamat Politik dari Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani), Arlan Siddha angkat bicara terkait langkah DPR RI yang berupaya mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas atau threshold pencalonan kepala daerah.
Diketahui, Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengakali putusan MK dengan membuat pelonggaran threshold itu hanya berlaku buat partai politik yang tak punya kursi DPRD.

Baca juga: Ini Putusan MK Soal Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah dan Wakilnya di Pilkada
Sedangkan MK sudah memutuskan threshold pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen demi menghindari demokrasi yang tak sehat karena threshold versi Undang-undang Pilkada rentan memunculkan calon tunggal.
"Harusnya menghormati apa yang menjadi putusan MK, dalam konteks dejure terkait putusan Pilkada harusnya dihormati, kemudian dilaksanakan dan dijalankan. Apalagi dengan waktu yang lumayan mepet," ujar Arlan saat dihubungi, Rabu (21/8/2024) malam.
Atas hal tersebut, kata Arlan, apa yang sudah menjadi putusan MK tidak lagi di otak atik untuk kepentingan karena terkesan ada sesuatu yang sedang dilakukan atau dijalankan untuk melakukan amputasi demokrasi.
"Artinya kan ini seolah-olah sedang melakukan amputasi demokrasi, memotong dan memangkas demokrasi. Seharusnya apa yang sudah menjadi putusan MK tidak mudah dianulir walaupun secara aturannya memang ada," katanya.
Arlan mengatakan, MK dan DPR RI ini merupakan dua lembaga besar yang menjadi trust masyarakat. MK sebagai pemutus putusan yang janggal dalam konteks hukum, sementara DPR RI merupakan wakil rakyat.
"Ini menurut saya dua konsep yang harusnya tidak lagi dipermainkan karena efek domino sudah mulai terasa misalnya di sosial media muncul peringatan darurat," ucap Arlan.
Dengan munculnya peringatan darurat ini, kata dia, artinya ada sebuah gerakan sosial yang menunjukkan bahwa ada ketidaksepakatan atau keganjilan ketika menjalankan demokrasi.
"Jadi seharusnya sinyal-sinyal ini bisa ditangkap oleh para penguasa bahwa masyarakat sudah untrust atau sudah tidak percaya," katanya.
Baca juga: Terkait Putusan MK Syarat Pengusung Calon Kepala Daerah, KPU Pangandaran Menunggu Instruksi KPU RI
Daftar Nama 32 Wakil Menteri yang Jadi Komisaris BUMN, MK Putuskan Larang Rangkap Jabatan |
![]() |
---|
Soal Putusan MK Terkait Pemisahan Pemilu, Begini Respons DPRD Kabupaten Tasikmalaya |
![]() |
---|
Selain Menerima Putusan MK, DPC PDIP Ucapkan Selamat ke Paslon Terpilih di PSU Tasikmalaya |
![]() |
---|
Pasca Putusan MK soal PSU Tasikmalaya, Polisi Lakukan Peningkatan Patroli |
![]() |
---|
Pasca Menang Sidang PSU Tasikmalaya di MK, Ini yang Akan Dilakukan Cecep-Asep |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.