Sya'ban termasuk bulan yang dimuliakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selain bulan yang empat, yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Salah satu cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memuliakan Syaban adalah beliau banyak berpuasa pada bulan ini.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i dan Abu Dawud dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah menyatakan, Usamah berkata pada Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban.” Rasul menjawab: “Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadhan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.”
عن أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Artinya: ”Usamah bin Zaid berkata, ‘Wahai Rasululllah aku tidak pernah melihat engkau berpuasa sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Sya’ban. Nabi membalas, “Bulan Sya'ban adalah bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan. Bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal. Karenanya, aku menginginkan pada saat diangkatnya amalku, aku dalam keadaan sedang berpuasa.” (HR Nasa'i)
Baca juga: Naskah Khutbah Jumat 7 Februari 2025: Isi Waktu dengan Beribadah dan Siapkan Bekal untuk Akhirat
Hadirin,
Oleh karena itu, marilah di awal-awal bulan Sya'ban ini kita perkokoh keimanan dan ketakwaan kita. Mumpung masih ada waktu, mumpung ada bulan Sya'ban yang penuh dengan keutamaan dan keistimewaan.
Kata “sya’ban” juga berasal dari kata syi'ab bisa dimaknai sebagai jalan setapak menuju puncak. Artinya bulan Sya'ban adalah bulan persiapan yang disediakan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada hamba-Nya untuk menapaki dan menjelajahi keimanannya sebagai persiapan menghadapi puncak bulan Ramadhan.
Meniti perjalanan menuju puncak bukanlah hal yang mudah. Minimal memerlukan persiapan-persiapan yang terkadang sangat melelahkan dan menguras energi. Ingatlah pekerjaan mendaki gunung yang mengharuskan berbagai macam pelatihan. Begitu pula meniti langkah menuju puncak selama bulan Sya'ban, tentunya pendakian itu mengharuskan kesungguhan hati dan niat yang suci. Mendaki adalah usaha menuju yang lebih tinggi yang harus dilalui dengan susah dan payah. Kepayahan itu akan terasa ketika kita memilih berpuasa di bulan Sya'ban sebagai bentuk pendakian menuju puncak, persiapan menyambut bulan suci Ramadhan.
Baca juga: Naskah Khutbah Jumat 7 Februari 2025: Pemahaman Penting Sifat Jaiz Allah SWT
Ma'asyiral mu'minin rahimakumullah,
Pendakian menuju puncak di bulan Sya'ban ini juga dapat dilakukan dengan cara banyak beristigfar dan meminta ampun atas segala dosa yang telah kita lakukan di bulan-bulan sebelumnya. Baik dosa yang kasat mata maupun dosa yang adanya di dalam hati dan tidak kasat mata, dan justru dosa terakhir inilah yang terkadang lebih menumpuk di bandingkan dosa kelakukan. Ujub, riya’ (pamer agar dilihat orang lain), sum'ah (pamer agar didengar orang lain), takabur, dan lain sebagainya:
Coba kita dalami an-Nahl ayat 78:
وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
Bukankah ayat tersebut seolah mewajibkan manusia agar selalu insaf dan sadar bahwa berbagai anugerah kita di dunia ini—jabatan, kekuatan, kekayaan, kegagahan, kepandaian dan semuanya—adalah pemberian Allah subhanahu wata’ala, dan manusia pada awalnya tidak mengerti suatu apa pun.
Karenanya, jikalau sampai terbersit dalam hati kita sebagai manusia akan kepemilikan dan ke-aku-an, sadarlah bahwa itu adalah kesombongan dan ketakaburan. Apalagi jikalau perasaan itu disertai dengan kesengajaan menafikan Allah subhanahu wata’ala maka segeralah bertobat. Allah sendiri mengancam orang-orang seperti ini dalam Surat Thaha ayat 124: