TRIBUNPRIANGAN.COM, BANDUNG - Angka perceraian di Kota Bandung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pemicunya, masalah ekonomi, perselingkuhan hingga judi online.
Berdasarkan data Pengadilan Agama (PA) Bandung, pada 2021 tercatat jumlahnya mencapai 7.075 perkara, jumlah tersebut meningkat pada 2022 menjadi 7.365 perkara perceraian, kemudian pada 2023 naik lagi menjadi 7.444 perkara.
Panitera Pengadilan Agama Klas I Bandung Dedi Supriadi mengatakan, tahun ini dari Januari hingga April, jumlah perkara yang masuk ke PA Bandung baru mencapai 1.707 perkara perceraian.
“Peningkatan ada setiap tahun, tapi tidak sampai berlipat-lipat masih di bawah 10 persen,” ujar Dedi, saat dihubungi, Selasa (23/4/2024).
Seusai lebaran Idulfitri kemarin, kata dia, sempat terjadi peningkatan, pengajuan perceraian yang masuk ke PA Bandung. Namun penyebabnya, karena libur pelayanan saat Idulfitri.
“Ada peningkatan, karena kita diakhir Ramadan tutup dulu, karena toh efektif (sidangnya) setelah lebaran. Mungkin karena itu, terjadi peningkatan,” ucapnya.
Baca juga: Perceraian di Pangandaran Tembus Ribuan Kasus hingga Pertengahan 2023, Ternyata Ini Penyebabnya
Adapun faktornya, kata dia, setiap tahun masih didominasi oleh masalah ekonomi dan perselisihan atau pertengkaran terus menerus. Selain itu, tren perceraian akibat judi pun mengalami peningkatan meski tidak signifikan.
Pada 2021, perceraian akibat judi jumlahnya hanya 10 pasangan, pada 2022 meningkat menjadi 18 pasangan dan 2023 meningkat lagi menjadi 19 pasangan.
“Memang tidak banyak, tapi ada. Kadang-kadang (penggugat) mengungkap nya malu gitu, masih ditutupi. Untuk mengatakan suami tukang judi, kadang-kadang ditahan (tidak diungkap),” katanya.
Dikatakan Dedi, sebelum naik ke persidangan biasanya pengadilan agama akan menyiapkan mediator untuk memediasi pasangan yang ingin bercerai. Namun, kebanyakan selalu gagal dimediasi dan berakhir dengan perceraian.
“Waktu untuk mediasi selama 30 hari, kalau umpamanya mediasinya berhasil perkaranya dicabut," katanya.
Namun, kata dia, rata-rata lebih banyak yang tidak berhasil dilakukan mediasi karena niat dari pasangan tersebut sudah bulat. Ada pula yang terus-terusan tidak hadir mediasi, sehingga tidak dilakukan mediasi dan dilanjutkan ke pokok perkara.
“Mediasi itu harus dua-duanya hadir, tapi presentasenya sedikit tidak sampai 10 persen,” ucapnya.
Faktor ekonomi dalam rumah tangga, menjadi pemicu putusannya biduk rumah tangga.
Hal itu dialami oleh pasangan muda asal Kota Bandung, berinisial AI (32) dan mantan istrinya CI (28). Keduanya memutuskan menyudahi rumah tangga pada Januari 2024, selama menjalani rumah tangga selama tiga tahun.
AI memutuskan untuk mengajukan cerai talak, karena sudah tak tahan dengan tekanan dari istrinya yang selalu menuntut lebih dalam urusan ekonomi.
"Sebelum memutuskan talak, saya dan mantan istri sempat pisah ranjang dulu selama beberapa bulan," ujar AI, saat ditemui di Jalan Burangrang, Kota Bandung, Selasa (23/4/2024).
Pekerjaannya sebagai kurir paket disalah satu perusahaan jasa pengiriman di Kota Cimahi, selalu tidak pernah cukup bagi mantan istrinya.
Kondisi itu, memicu perselisihan atau pertengkaran terus menerus hingga membuatnya tak tahan dengan kondisi rumah tangganya.
"Sebagai laki-laki, saya juga punya harga diri. Akhirnya setelah dipikir matang-matang, saya ajukan cerai talak," katanya.
Saat ini, permohonan cerai talaknya ke Pengadilan Agama (PA) Bandung masih terus berproses, setelah beberapa kali mediasi dan sidang.
"Prosesnya lama, kan ada mediasi dulu sebelum masuk ke pokok perkara. Sekarang baru talak satu," ucapnya.
Saat ini, pihaknya masih menunggu kelanjutan dari proses cerai talak yang diajukannya ke PA Agama. AI pun berharap, perkaranya dapat segera selesai.
"Masih proses terus, nanti nunggu dikabari lagi dari PA Bandung," katanya.
Akibat Judi Online
Pengadilan Agama (PA) Bandung tercatat sudah menerbitkan 1.398 akta cerai dari Januari sampai April 2024. Dari jumlah tersebut, 80 persen merupakan gugatan cerai yang diajukan oleh istri akibat masalah ekonomi hingga perselisihan terus menerus.
Data PA Bandung mencatat, perkara yang masuk dari cerai gugat dan cerai talak hingga April 2024 mencapai lima ribu. Namun, dari perkara yang masuk, tidak semua diproses hingga terbit akta cerai.
Panitera Pengadilan Agama (PA) Bandung, Dede Supriadi mengatakan, setiap perkara yang masuk ke PA Bandung tidak semuanya berakhir dengan perceraian atau diterbitkan akta cerai.
"Perkara masuk itu belum tentu cerai, ada yang mediasi tidak jadi cerai, ada yang putus ditolak, tidak semua perkara perceraian dikabulkan, ada yang banding juga," ujar Dede, saat ditemui di PA Bandung, Jalan Antapani, Kota Bandung, Rabu (26/6/2024).
Dalam klasifikasi akta cerai terdapat 13 penyabab perceraian diantaranya zina, mabuk, madat, judi, meninggalkan salah satu pihak, dihukum penjara, poligami, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), cacat badan, perselisihan dan pertengkaran terus menerus, kawin paksa, murtad dan ekonomi.
"Di aplikasi akta cerai pun, tidak ada sebab cerai karena judi online hanya judi saja ya," katanya.
Dari belasan penyebab perceraian itu, kata dia, alasan ekonomi dan perselisihan terus menerus menjadi dua faktor paling mendominasi.
Dede tidak memungkiri jika judi online menjadi salah satu penyebab istri gugat cerai suaminya. Hanya saja, saat proses mendaftarkan perkara kebanyakan menyertakan faktor ekonomi sebagai alasannya.
"Kita tidak punya data penyebabnya spesifik karena judi online. Tapi dari informasi panitera pengganti yang ikut sidang, tahun ini memang banyak perceraian akibat faktor ekonomi yang dipicu oleh judi online suaminya," katanya.
"Ekonomi itu kan banyak faktor, bisa karena judi online, pemutusan hubungan kerja (PHK), usaha bangkrut dan macam-macam, tapi informasi dari panitera pengganti memang awal 2024 ini banyak karena judi online, tapi tetap masuknya ke faktor ekonomi," tambahnya.
Data Mei 2024, perceraian akibat judi hanya ada dua perkara, sedangkan faktor ekonomi mencapai 109 perkara, diikuti perselisihan terus menerus 184 perkara, KDRT tiga perkara, meninggalkan salah satu pihak 15 perkara dan mabuk satu perkara.
Sementara berdasarkan profesinya, kata Dede, masih didominasi oleh kalangan pekerja swasta dan ibu rumah tangga.
"Aparatur sipil negara (ASN) ada, tapi itu tidak terlalu banyak, kebanyakan non ASN pegawai swasta," ucapnya.
Berdasarkan data di PA Bandung, kata dia, perceraian ASN baik itu TNI-Polri ataupun ASN pemerintahan, jumlahnya tidak mencapai lima persen.
"Presentasenya kecil, tidak sampai lima persen, karena kan izinnya mereka (ASN) susah. Untuk ASN TNI dan Polri itu, harus ada izin dari atasan langsung dan biasanya susah, berbeda dengan non ASN. ASN non TNI-Polri juga sama harus ada izin langsung dari atasan," katanya. (*)