Pejuang Pengajar Braille

Rastini, Salah Seorang Penyandang Difabel Netra Cirebon yang Semangat Ajarkan Braille Keliling

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rastini Salah Seorang Penyandang Difabel Netra Cirebon

TRIBUNPRIANGAN.COM - Tribuners, seperti yang diketahui bahwa hari ini tanggal 4 Januari terdapat peringatan Hari Braille Sedunia.

Salah satunya adalah Rastini, penyandang difabel netra Cirebon mengabdikan dirinya untuk mengajarkan braille keliling dari satu titik ke titik lainnya.

Wanita berusia 38 tahun ini tampak bersemangat melakukan pengajaran menggunakan braille.

Baginya braille tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya.

Menurutnya, braille adalah identitas yang harus terus dipelajari dan diajarkan kepada penyandang disabilitas netra.

Rastini mengatakan, meski ia dan teman-teman lain tunanetra, teman-teman tetap harus bisa berkomunikasi dengan keluarga, saudara, orang lain melalui handphone. Ia dan teman-teman lainnya bisa gunakan layanan talkback di pengaturan hp, atau aplikasi lainnya untuk dapat berkirim tulisan.

Baca juga: Tanggal 4 Januari 2023 Memperingati Hari Apa? Ada Hari Raya Galunggan hingga Hari Braille Sedunia

Menurut Rastini saat ditemui di Sekretariat Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI), Cirebon mengatakan jika Braille menjadi identitas bagi dirinya dan teman-teman lainnya.

Braille harus tetap dipelajari dan diajarkan kepada teman-teman netra, karena, braille dapat membuka jendela dunia meski mata kami tertutup atau tidak dapat melihat.

Wanita asal Desa Hulubanteng, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Cirebon ini gigih memperjuangkan braille.

Ini lahir berkat keinginan kuatnya untuk terus belajar dengan berbagai keterbatasan.

Rastini melewati banyak proses sejak kecil.

Baca juga: Curug Bojong Pangandaran, Destinasi Wisata Pesona Air Terjun Instagramable yang Wajib Kamu Kunjungi

Anak kelima dari pasangan Talam dan Rastiwen ini bercerita, dia menjadi tunanetra saat usia 2 tahun karena sakit.

Keterbatasan ekonomi membuatnya tidak dapat berobat hingga mata Rastini menutup selamanya.

Namun, keinginan belajar Rastini tidak pernah padam.

Rastini masuk SLB A Beringin Bakti, Desa Kepompongan, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon sampai dia juga tinggal di asrama setempat.

Di lokasi ini, Rastini mengenal braille. Setelah mengeyam pendidikan SLB tingkat SD, Rastini makin haus ilmu.

Bahkan waktu dirinya menginjak kelas 6 SD, saat belajar bahasa Indonesia, ia belajar membuat puisi, lalu ia pun kirimkan ke Gema Braille, majalah khusus tunanetra.

Baca juga: Benarkah Jahe Dapat Membantu Mengatasi Nyeri Otot Pada Lansia? Simak Begini Penjelasannya

Bahkan hingga tulisan pertamanya pun diterbitkan yang membuat dirinya bahagia sekali waktu itu.

Rastini kemudian sering mengirim cerita ke Gema Braille.

Capaian kreativitas itulah yang membawa Rastini melanjutkan pendidikan tingkat SLTA pendidikan normal, di SMAN 7 Bandung.

Dia ingin terus belajar meski harus berpisah dengan orangtua dan tinggal bersama teman di asrama.

Rastini membuktikannya, tidak hanya kirim tulisan ke Gema Braille, dia lalu mengirim tulisan ke Sahabat Pena saja, namun nama Rastini kemudian dikenal baik hingga mendapatkan beasiswa pendidikan di SMAN 7 Bandung.

Baca juga: Benarkah Lulusan PPPK Bisa Ikut Kembali Seleksi CPNS 2023? Simak Begini Penjelasannya

Tak berhenti di situ saja, Rastini bahkan melanjutkan pendidikan di Sekolah Tingi Agama Islam (STAI) Siliwangi.

Karena prestasi yang dimiliknya, Rastini kembali mendapatkan beasiswa untuk belajar di jurusan Pendidikan Agama Islam hingga lulus.

Sejak Rastini mampu baca tulis braille dengan lancar, dia mengajarkan juga kepada orang-orang di sekitar.

Bahkan aktivitas pengajaran sudah dilakukan sejak SMP kepada teman seasrama.

Saat setelah lulus kuliah, Rastini pun mengajar di Semarang Sekolah MI-LB Gendong tahun 2007–2009.

Dia kemudian pindah mengajar ke SLBN Cibinong Karedenan tahun 2009 hingga 2012.

Sejak tahun 2012 hingga hari ini, Rastini mengajar di SD dan SMP LB A Beringin Bakti Kepompongan Talun Cirebon.

Rastini menikah dengan Alfarisi, pria penyandang disabilitas netra asal Solo tahun 2009.

Keduanya pun dikaruniai 2 orang putra bernama Alfarisi Ahmad dan Rizqi Aditya.

Keempatnya kerja sama untuk terus mengajarkan braille tidak hanya di sekolah, namun juga di rumah-rumah.

Indra Rukmana (28), penyandang disabilitas netra menyebut, Rastini salah satu guru dan juga mentor bagi yang lainnya.

Baca juga: Resep Serabi Purwakarta, Kuliner dengan Tekstur Empuk dan Lembut Ketika Disantap

Rastini, Indra, dan juga yang lainnya membuat kegiatan belajar rutin tiap hari Jumat, dan spontanitas pada hari-hari tertentu, di Sekretariat ITMI Cirebon.

Indra yang juga bertugas sebagai Humas ITMI Kabupaten Cirebon menegaskan, braille adalah identitas tunanetra.

Atas dasar itulah, ITMI membuka diri kepada penyandang netra untuk mau belajar bersama-sama.

Penyandang netra tidak perlu membayar uang sepeser pun, karena kata Indra, yang dibutuhkan adalah kemauan dan kesabaran.

Maka di momen Hari Braille Sedunia ini, Indra berharap agar pemerintah memberikan banyak perhatian kepada teman-teman khususnya netra.

Memperbanyak akses Braille dan juga membuka layanan pembelajaran kepada berbagai kalangan usia. (*)