TRIBUNPRIANGAN.COM, BANDUNG – Pada 19 Agustus ini, usia Provinsi Jawa Barat sudah sama dengan usia Republik Indonesia yakni 80 tahun, namun Jawa Barat sampai sekarang dinilai belum merdeka dari persoalan sampah. Sejumlah tempat pembuangan akhir (TPA) di beberapa kota/kabupaten berada dalam kondisi kritis, bahkan nyaris penuh, akibat volume sampah yang masuk tidak sebanding dengan kapasitas daya tampung.
Kondisi ini diperparah dengan sanksi administratif dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Maret 2025, yang mewajibkan penghentian praktik open dumping dan peralihan ke sistem controlled landfill dalam waktu 180 hari. Batas waktu perbaikan berakhir pada Desember 2025.
Untuk diketahui, open dumping adalah metode pembuangan sampah yang dilakukan secara terbuka di suatu lokasi tanpa perlakuan khusus, seperti penimbunan, pemadatan, atau penutupan. Akibatnya, open dumping menimbulkan berbagai masalah lingkungan dan kesehatan.
Sedangkan controlled landfill adalah sistem pembuangan sampah yang merupakan perbaikan atau peningkatan dari open dumping, dan menjadi jembatan antara open dumping dan sanitary landfill. Dalam sistem ini, sampah ditimbun dan dipadatkan secara berkala dengan tanah.
Dan, Sanitary landfill adalah suatu sistem pengelolaan sampah dengan cara menimbun sampah di lokasi yang cekung, kemudian dipadatkan dan ditutup dengan tanah. Tujuannya adalah untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti pencemaran air tanah, udara, dan tanah. Metode ini lebih baik daripada open dumping karena ada lapisan pelindung dan sistem pengelolaan air lindi serta gas metana.
Baca juga: Klaim Atasi Sampah Numpuk, TPST Nangkalea Tasikmalaya Ditargetkan Beroperasi 2028
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Barat, saat ini masih terdapat 17 TPA yang menggu-
nakan sistem open dumping, yakni metode penumpukan sampah tanpa proses pengolahan. Kondisi ini memi-
cu peringatan resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena berisiko menimbul-
kan pencemaran lingkungan dan masalah kesehatan masyarakat.
Kepala DLH Jawa Barat menyebutkan, sistem open dumping sudah dilarang sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pemerintah daerah diminta segera beralih ke sistem sanitary landfi ll atau metode pengolahan lain yang lebih ramah lingkungan.
“Beberapa TPA besar seperti Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat, Galuga di Bogor, dan Cipayung di Kota Depok, kapasitasnya sudah sangat terbatas. Tanpa langkah penanganan cepat, risiko darurat sampah bisa terjadi,” ujarnya, Rabu (13/8).
Pemprov tengah mengebut perbaikan 17 TPA yang masih mengelola sampah dengan metode open dumping. Pasalnya, KLHK hanya memberikan tenggat waktu perbaikan hingga bulan Desember 2025.
“Target kami TPA open dumping berubah minimal menjadi controlled landfi il maksimal bulan Desember 2025,” kata Sekda Jabar, Herman Suryatman, ditemui di Cimahi, Jumat (15/8).
Berdasarkan data, di Jawa Barat terdapat 30 TPA yang tersebar di 27 Kabupaten/Kota. Dari jumlah itu, hanya satu TPA sudah beralih ke sanitary landfi ll, yakni TPA Gunung Santri di Kabupaten Cirebon, kemudian terdapat dua TPA menggunakan semi controlled landfi ll di Pasir Bajing Kabupaten Garut dan Galuga Kabupaten Bogor serta sembilan TPA controlled landfill.
Saat ini, kata Herman. timbunan sampah di Jawa Barat itu mencapai 29,7 ribu ton per hari. Dari jumlah itu. yang terkelola dengan baik hanya 20 persen saja. “Berarti 80 persen itu belum terkelola dengan baik. Di antaranya dibuang ke sungai, ditumpuk di mana saja, dan ini akan menjadi bom waktu,” ucapnya.
Hanya Tinggal Satu Zona TPA Sarimukti
TPA Sarimukti di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB), menjadi salah satu TPA di Jabar yang mendapat sanksi adsministratif dari KLHK karena pengolahan limbah tidak sesuai dengan standar. Pantauan Tribun di lokasi pada Jumat (15/8), perluasan area zona 5 sudah mulai dioperasikan.
Sampah-sampah di zona terusebut terlihat lebih tertata dan lebih rapi. Sejumlah alat berat seperti ekskavator terlihat langsung meratakan dan merapikan sampah yang baru diturunkan dari mobil-mobil pengangkut sampah. Di sudut lain, zona 3 TPAS Sarimukti yang sebelumnya menjadi andalan penam-
pungan sampah terlihat sangat tertata, rapi, dan ditimbun oleh lapisan tanah yang telah mengering.
Sekda Jabar, Herman Suryatman mengungkapkan, Pemprov Jabar menggelontorkan dana hampir Rp15 Miliar untuk perbaikan sistem pengelolaan TPAS Sarimukti. Di bulan Desember 2025, Herman memastikan sistem pemproresan sampah di TPAS Sarimukti akan sesuai dengan standar, termasuk pada sistem Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Herman menegaskan, TPAS Sarimukti telah berstatus tempat pengelolaan sampah dengan sistem Sanitary Landfi ll, dimana sampah diletakkan di area yang cekung, dipadatakan, hingga ditutup dengan lapisan tanah secara berkala. Sanitary Landfi ll itu diklaim seiring dengan beroperasinya zona perluasan atau zona 5 dengan luas 6,3 hektar.
Saat ini ada pembatasan tonase sampah dari wilayah Bandung Raya. Kota Bandung mendapat jatah harian pembuangan sampah ke TPAS Sarimukti sebanyak 981,31 ton, Kabupaten Bandung 280,37 ton, Kota Cimahi dan KBB mendapat jatah sebesar 119,16 ton.Dengan skema yang digulirkan, zona 5 atau zona perluasan TPAS Sarimukti diprediksi mampu menampung sampah dari wilayah Bandung Raya hingga Juni 2028.
TPA Cikolotok Terancam Penuh
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cikolotok di Desa Margasari, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Purwakarta, kini hanya memiliki sisa kapasitas 40 persen. Dari total luas lahan 10 hektare, sebanyak 60 persen sudah terisi sampah.
Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Purwakarta, Kosasih, mengatakan produksi sampah di daerahnya mencapai 400 ton per hari, namun hanya 160 ton yang dapat diangkut ke TPA Cikolotok
karena keterbatasan armada.
“Jika tidak diantisipasi, TPA ini bisa penuh total dalam lima tahun ke depan,” ujarnya, Jumat (15/8).
Pengelolaan sampah di TPA Cikolotok masih menggunakan metode sanitary landfi ll manual. Selain itu, masih terdapat praktik open dumping, sehingga DLH menerima teguran dari Kementerian Lingkungan Hi-
dup (KLH). KLH meminta agar yang dibuang ke TPA hanya residu, sehingga perlu penguatan pengolahan sampah di hulu.
Saat ini, sekitar 50 persen lahan digunakan untuk open dumping, 10 persen untuk jalur instalasi pengolahan
air limbah (IPAL), sementara sebagian lahan belum bisa dimanfaatkan karena kondisi tanah labil. DLH tengah menyusun Detail Engineering Design (DED) untuk menutup area open dumping dan membuka lahan baru dengan sistem sanitary landfi ll yang lebih tertata.
TPAS Mekarsari Menyisakan 50 persen
Kapasitas Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) Mekarsari di Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur, mulai menipis. Dari total lahan seluas 25 hektare, sebanyak 12 hektare telah terpakai untuk penampungan dan pengolahan sampah.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Cianjur, Komarudin, menjelaskan bahwa 7 hektare dari lahan yang sudah digunakan dialokasikan untuk sistem sanitary landfi ll, sementara 5 hektare sisanya menjadi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST).
“Idealnya, berdasarkan tata ruang, TPAS Mekarsari membutuhkan sekitar 100 hektare. Saat ini baru 25 hektare yang tersedia,” ujarnya, Jumat (15/8).
Sejak Februari 2024, TPAS Mekarsari sudah beralih dari sistem open dumping ke sanitary landfi ll. Perubahan ini dilakukan setelah sebelumnya Pemkab Cianjur menerima sanksi administratif dari Kementerian Lingkungan Hidup terkait pengelolaan sampah.
Komarudin menyebutkan, keterbatasan lahan menjadi tantangan utama. Tahun ini, Pemkab hanya mampu membebaskan 0,5 hektare dari usulan 5 hektare karena keterbatasan anggaran. “Akses jalan menuju TPAS juga belum memadai, dan akan dilakukan pemadatan pada perubahan anggaran,” katanya.
TPA Jalupang Subang
Sebanyak 350 ton sampah per hari di Kabupaten Subang tidak terangkut ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Jalupang, Kecamatan Cipeundeuy, karena keterbatasan armada dan akses jalan yang sulit.
Kabupaten Subang menghasilkan sekitar 600 ton sampah per hari, namun Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat hanya mampu mengangkut 250 ton.
“Armada pengangkutan hanya 24 unit, itu pun sebagian tidak layak jalan. Jarak ke TPA sekitar 45 kilometer dengan jalan rusak, apalagi kalau musim hujan,” ujar Pejabat Fungsional Pengendali Dampak Lingkungan DLH Subang, Cece Rahman, Jumat (15/8/2025).
TPA Jalupang memiliki luas 14,6 hektare, status hak guna usaha PT PTPN Regional 1 Jabar, dengan masa kerjasama 15 tahun sejak 2022. Fasilitas yang ada meliputi dua zona landfi ll seluas 3,2 hektare dan dua unit Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang belum optimal digunakan.
Kondisi ini membuat Pemkab Subang mendapat sanksi administratif dari Kementerian Lingkungan Hidup pada 17 Maret 2025, salah satunya kewajiban membangun 134 TPS 3R berkapasitas 4 ton per hari. Hingga kini baru ada enam TPS 3R, sebagian besar bantuan Pemerintah Kota Gimcheon, Korea Selatan, dan hanya dua yang berfungsi.
Menurut Cece, rencana pembangunan sistem sanitary landfi ll di TPA Jalupang membutuhkan dana Rp3 miliar. Tahap awal mencakup penggalian lahan seluas 4.000 meter persegi dan pemasangan lapisan kedap untuk mencegah rembesan air lindi ke tanah.
TPA Kopi Luhur Tersisa 6 Hektare
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kopi Luhur di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, terancam penuh. Dari total luas lahan 14 hektare, 8 hektare sudah terpakai untuk menampung sampah, sementara setiap hari masuk sekitar 210 ton sampah baru.
Kondisi ini diperparah dengan sanksi administratif dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Maret 2025, yang mewajibkan penghentian praktik open dumping dan peralihan ke sistem controlled landfi ll dalam waktu 180 hari. Batas waktu perbaikan berakhir pada Desember 2025.
Kasubag TU UPT TPA Kopi Luhur DLH Kota Cirebon, Jawahir, mengatakan proses peralihan sudah mencapai 50 persen.
“Hamparan bisa selesai satu-dua bulan, tapi terasering butuh waktu sekitar empat bulan. Kendalanya anggaran tambahan belum ada,” ujarnya, Kamis (7/8/2025).
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofi q, saat kunjungan ke lokasi pada Juni lalu menegaskan jika perbaikan tidak dijalankan, Pemkot Cirebon dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 114 UU No. 32 Tahun 2009. KLHK juga telah memasang plang peringatan dan garis larangan melintas di pintu masuk TPA.
Direktur Pengaduan dan Pengawasan Kedeputian Penegakan Hukum KLHK, Ardi, menilai praktik open dumping masih terjadi di lokasi tersebut. Pemerintah Provinsi Jawa Barat diminta ikut mengawal agar pembenahan selesai tepat waktu. (Rahmat K/Nazmi A/Hilman K/Fauzi N/Deanza F/Ahya N/Eki Y)
Ribuan Ton Sampah Tak Terangkut
KOTA Bandung hingga saat ini tampaknya belum benar-benar merdeka dari sampah. Kondisi itu terbukti karena dari semua timbulan sampah per hari masih ada puluhan truk yang belum terangkut ke TPA Sarimukti akibat pembatasan ritase.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, mengatakan, hingga kini Bandung menghasilkan 180 ritase sampah per hari, namun hanya 140 ritase yang dapat diangkut ke TPA dan sisanya yang berjumlah 40 ritase atau setara 40 truk masih belum terangkut setiap hari.
Setiap harinya sampah di Kota Bandung mencapai sekitar 1.500 ton. Dari jumlah itu, sekitar 140 ritase truk (kapasitas 3 ton per truk) yang diizinkan mengangkut sampah ke TPA Sarimukti, atau setara 420 ton per hari. Akibatnya, kurang lebih 1.000 ton sampah tidak terangkut, dan sebanyak 230 ton di antaranya tertahan di TPS tanpa bisa diangkut sehari-hari.
“Kami menargetkan akhir tahun ini surplus 40 ritase itu sudah habis terolah. Politik anggaran kami sudah jelas, sebagian besar diarahkan untuk penanganan sampah,” ujar Farhan di Kantor PT Pindad, Kamis (14/8).
Farhan menilai, teknologi pengolahan yang dimiliki Pindad, seperti insinerator yang telah digunakan di Kecamatan Bandung Kulon, terbukti efektif. Sehingga diharapkan bisa mengembangkan mesin-mesin pengolah sampah organik, mengingat 60 persen sampah Bandung bersifat organik.
Selain itu, Farhan juga mengusulkan desain kendaraan compact (ringkas) khusus untuk mengangkut sampah di jalan-jalan kecil, menggantikan kendaraan triseda yang dinilai tidak tahan lama. “Kalau ada Compactor sampah seukuran kendaraan Maung, itu akan jauh lebih sustainable,” katanya.
Farhan mengatakan, Pemkot Bandung menutup opsi pembangunan fasilitas waste-to-energy skala besar, karena keterbatasan lahan dan risiko lingkungan. Fokus saat ini adalah pada solusi terdistribusi yang ramah lingkungan dan dapat segera diterapkan.
“Kolaborasi seperti ini memberi harapan besar. Target kami, Januari 2027 Bandung sudah
bebas dari tumpukan sampah di pagi hari,” ucap Farhan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung, Darto, mengatakan, untuk menangani sisa sampah yang belum terangkut ke TPA Sarimukti itu pihaknya sudah mengoperasikan 9 insinerator untuk mengolah sampah.
“Dari 9 insinerator itu, ada yang bisa mengolah 1 ton, 4 ton, terus dua mesin bisa 32 ton. Kita targetkan
30 ritase sampah yang tidak terbuang bisa kita olah,” kata Darto.
Ia mengatakan, dari total 9 insinerator tersebut di antaranya, ada tiga unit di dua titik Kecamatan Bandung Kulon, kemudian Babakan Sari, Gandapura, Jalan Indramayu, dan di kawasan Taman Cibeunying. (Hilman Kamaludin)