Naskah Khutbah Jumat

Naskah Khutbah Jumat 16 Mei 2025/ 19 Zulkaidah 1446 H: Berhati-hatilah dalam Memilih Rujukan Agama

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KHUTBAH JUMAT - Naskah Khutbah Jumat 16 Mei 2025/ 19 Zulkaidah 1446 H: Berhati-hatilah dalam Memilih Rujukan Agama. Ilustrasi Kitab Hadist 1 (Design Canva)

TRIBUNPRIANGAN.COM - Berikut ini terdapat Naskah Khutbah Jumat 16 Mei 2025/ 19 Zulkaidah 1446 H: Berhati-hatilah dalam Memilih Rujukan Agama

Salah satu rukun pada hari Jumat adalah penyamapaian Khutbah oleh sang khatib.

Islam menganjurkan supaya khutbah tidak disampaikan terlalu panjang agar jemaah tidak bosan. 

Sekadar informasi, ajuran untuk menyampaikan khutbah secara singkat terdapat di dalam sebuah hadits riwayat Muslim dan Ahmad berikut ini.

عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ طُولَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلاَةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ وَإِنَّ مِنْ الْبَيَانِ سِحْرًا (رواه مسلم وأحمد)

Artinya: "Dari Ammar Ibn Yasir (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Sesunggunguhnya panjangnya sholat dan pendeknya khutbah seorang khatib adalah tanda kepahaman seseorang tentang agama. Oleh karena itu panjangkanlah sholat dan persingkatlah khutbah; sesungguhnya dalam penjelasan singkat ada daya tarik." (HR Muslim dan Ahmad)

Ada berbagai jenis topik khutbah Jumat, namun kali ini TribunPriangan.com ingin mengulas tentang Berhati-hatilah dalam Memilih Rujukan Agama

Baca juga: Naskah Khutbah Jumat 16 Mei 2025/ 19 Zulkaidah 1446 H: 4 Hal Kunci Ibadah Diterima

Khutbah I 

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ وَفَّقَ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ بِفَضْلِهِ وَكَرَمِهِ، وَخَذَلَ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ بِمَشِيْئَتِهِ وَعَدْلِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَصَفِيُّهُ وَحَبِيْبُهُ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ الْقَائِلِ فِيْ مُحْكَمِ كِتَابِهِ: وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ 

Ma’asyiral Muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah

Menjadi keniscayaan bagi kita untuk senantiasa memanjatkan rasa syukur kepada Allah swt yang telah menganugerahkan kehidupan di dunia dengan segala fasilitas yang bisa kita nikmati. Shalawat dan salam kita abadikan kepada Nabi Muhammad saw yang telah membawa kita dari alam jahiliyah menuju alam yang ilmiyah. Semoga kita menjadi umatnya yang patuh pada sabda-sabdanya dan kelak mendapatkan syafa'at uzhma-nya. Amin ya rabbal ‘alamin.  

Ma’asyiral Muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah   

Di era digital ini banyak orang yang diulamakan oleh penikmat media sosial. Dia bukan ahli di bidang agama tapi diidolakan dan diagung-agungkan bahkan menjadi rujukan utama dalam segala tindakan dan perbuatan, tidak terkecuali dalam beramaliyah sehari-hari.   

Baca juga: Naskah Khutbah Jumat 16 Mei 2025/ 19 Zulkaidah 1446 H: Berlepas Diri dari Kehidupan Lalai dan Merugi

Legitimasi dan pengakuan terhadapnya seringkali melebihi pengakuan terhadap ulama besar dan gurunya sendiri yang sudah lama memberi bimbingan, pembelajaran bahkan keteladanan, sehingga ketika terjadi perbedaan pandangan, maka dialah yang menjadi pilihannya.  

Karenanya, dirasa sangat penting dipahami bersama bahwa ulama Ahlussunah wal Jama’ah sudah menentukan barometer siapa saja yang dapat diambil ilmunya dan dijadikan rujukan dalam beramal.   
Dalam kitab Risalah Ahlussunah wal Jama’ah karya Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dijelaskan bahwa tidak diperbolehkan mengambil ilmu dari orang yang tidak diketahui dari mana dia belajar. Beliau mengutip pandangan imam Malik:  

لا تَحْمِلِ الْعِلْمَ مِنْ اَهْلِ الْبِدَعِ وَلا تَحْمِلْهُ عَمَّنْ لَا يُعْرَفُ بِالطَّلَبِ   

Artinya: “Janganlah kamu membawa ilmu dari orang yang ahli bidah, dan jangan pula membawa ilmu dari orang yang tidak dikenal kepada siapa dia mempelajarinya”.   

Maka, kenali dulu di pesantren atau institusi pendidikan mana dia belajar, seperti apa profil lembaga pendidikannya dan siapa gurunya. Perlu diidentifikasi dari tiga sisi, yaitu seperti apa corak pemikirannya, bagaimana amaliyahnya dan bagaimana pula bentuk gerakannya.   

Jangan hanya karena kenal melalui media sosial lantas kita proklamirkan sebagai orang yang ahli agama. Jangan karena petuahnya masuk akal lalu kita jadikan pedoman dalam memutuskan problematika hukum.   

Kita sadari kembali bahwa ilmu bisa diperoleh dengan proses pembelajaran, bukan bawaan dari lahir, bukan pula hadiah dari garis keturunan. Sehingga apa yang disampaikan melalui kajian yang mendalam dari beberapa referensi yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan asal mengutip yang tidak dipahami makna yang sebenarnya.   

Baca juga: Naskah Khutbah Jumat 16 Mei 2025/ 19 Zulkaidah 1446 H: Berlepas Diri dari Kehidupan Lalai dan Merugi

Ma’asyiral Muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah   

Ciri berikutnya orang yang dapat dijadikan rujukan adalah mereka yang betul-betul ahli dalam ilmu agama. Mampu memahami Al-Qur’an dan hadits dengan baik, begitu juga perangkat-perangkat keilmuan lainnya yang menunjang pemahaman terhadap Al-Quran dan Sunnah. Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah pernah berpesan:  

 فَلا تَرْوُوْهُ اِلَّا عَمَّنْ تَحَقَّقَتْ أَهْلِيَّتُهُ   

Artinya: “Maka, jangan kamu meriwayatkan suatu ilmu kecuali dari orang yang benar-benar ahli dalam bidang tersebut”.   

Tidak boleh sembarang orang dijadikan rujukan untuk kasus-kasus krusial yang membutuhkan pemahaman yang mendalam. Tidak boleh setiap orang diberi panggung untuk memutuskan perkara yang sangat penting, terutama bagi umat Islam. Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin juga menegaskan:   

وَإِنْ كَانَ مِنْ دَقَائِقِ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ وَمِمَّا يَتَعَلَّقُ بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِ الْاِبْتِدَاءُ بِإِنْكَارِهِ بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ   

Artinya: “Kalau merupakan perkataan dan tindakan yang detail dan hal-hal yang berhubungan dengan ijtihad, maka orang awam tidak boleh memulai dalam melakukan pengingkaran, melainkan aktivitas tersebut harus dilakukan oleh para ulama.”   

Baca juga: Naskah Khutbah Jumat 16 Mei 2025/19 Zulkaidah 1446 H: Proporsi Ibadah Penembus Pintu Rahmat Allah

Tentu saja berkaitan dengan penjelasan yang khatib sebutkan, seseorang yang disebut sebagai ulama adalah yang dinilai telah mumpuni dalam keilmuannya oleh para ulama lainnya, bukan mereka yang dianggap ulama oleh netizen di media sosial secara sembarangan, bukan pula mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai ulama secara serampangan.   

Jamaah sekalian, dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat ke 36, Allah swt berfirman:   

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا   

Artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan sesuatu yang tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya kelak.”   

Ma’asyiral Muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah   

Ciri lain orang yang dapat dijadikan rujukan ilmunya adalah mereka yang dapat dipercaya ucapan dan tindakannya. Bukan orang yang berani membohongi umat untuk kepentingan pribadi dan golongan. Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah menegaskan:   

Baca juga: Naskah Khutbah Jumat 16 Mei 2025: Habluminannas Sebagai Jalan Keridhaan

وَلا عَمَّنْ يَكْذِبُ فِيْ حَدِيْثِ النَّاسِ وَإنْ كَانَ لا يَكْذِبُ فِيْ حَدِيْثِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ   

Artinya: “Dan jangan mengambil ilmu dari seseorang yang melakukan kebohongan di muka umum, walaupun dia tidak berbohong jika sedang berbicara tentang hadits Nabi Muhammad saw”.   

Maka, Jangan hanya menilai seseorang dari ilmunya saja, tetapi juga dari amal perbuatannya. 

Ilmu yang disertai dengan keikhlasan dan kejujuran memiliki kekuatan besar untuk menyentuh hati seseorang yang mendengarnya, dan tentu saja membawa keberkahan bagi umat. Hal ini jauh lebih berharga daripada segudang ilmu tanpa kejujuran dan pengamalan. Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith dalam Al-Manhajus Sawi mengatakan:  

 كَلَامُ أهْلِ الإخْلاصِ وَالصِّدْقِ نُوْرٌ وَبَرَكَةٌ وَاِنْ كَانَ غَيْرَ فَصِيْحٍ 

Artinya: “Perkataan orang-orang yang ikhlas dan jujur adalah cahaya dan keberkahan, meskipun tidak diungkapkan dengan fasih.”   

Karena itu, mari berhati-hati memilih rujukan dan pedoman dalam merespons persoalan agama. Tidak semua orang yang memiliki kemampuan menyampaikan materi dinyatakan sesuai dengan ketentuan Islam. Justru kadang dialah yang menyesatkan dan memprovokasi umat.

 بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَيَا فَوْزَ الْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَا نَجَاةَ التَّائِبِيْنَ  

 

Khutbah II

 اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

(*)

Baca artikel TribunPriangan.com lainnya di Google News