Tauhid dan kemanusiaan bisa dikenal juga dengan istilah hablum minallah (hubungan dengan Allah) dan hablum minannas (hubungan dengan manusia). Keduanya merupakan prinsip yang saling melengkapi dalam ajaran Islam. Dalam urusan tauhid semua manusia adalah hamba Allah. Di sini tauhid secara tidak langsung meniscayakan adanya kesetaraan bagi manusia karena derajat dan kelas paling tinggi hanya milik Allah. Pembedaan derajat dan kelas pada tataran manusia bersifat semu di hadapan Allah SWT, karena yang membedakan hanyalah takwa. Sedang takwa adalah urusan pribadi seorang hamba dengan penciptanya, Allah SWT.
Maka mengklaim diri memiliki derajat lebih mulia hanya karena berasal dari sesuatu yang dianggap mulia merupakan sikap yang tidak bijak. Karena klaim-klaim semacam itu pernah dilakukan iblis pada awal penciptaan manusia, dan akhirnya iblis terhempas dari surga karena rasa sombongnya merendahkan ciptaan Allah yang lain, yang mungkin mereka anggap sesuatu yang hina. Kisah ini terangkum di dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf, ayat 12 yang berbunyi:
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ. قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Artinya: Allah berfirman, "Apakah yang menghalangimu bersujud (kepada Adam) ketika Kuperintahkan kepadaMu?" Iblis menjawab, "Kami lebih baik daripada dia: Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Kau ciptakan dari tanah" (QS Al-A’raf: 12).
Karena adanya potensi yang dimiliki setiap manusia, meskipun diciptakan dari tanah liat, untuk menjadi mulia di sisi Allah, maka Allah menyatakan dengan tegas bahwa Allah telah benar-benar memuliakan manusia. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur;an Surat Al-Isra ayat 70:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا
Artinya: Dan sungguh, kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan kami angkut mereka di darat dan di laut, dan kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna (QS Al-Isra (17): 70).
Baca juga: Naskah Khutbah Jumat 8 November 2024 Tentang Kiat Sukses Mendapatkan Ampunan di Bulan Ramadan
Jamaah sidang jumat rahimakumullah,
Kadang sifat iblis tersebut justru kadang dilestarikan oleh manusia itu sendiri dan diwariskan kepada keturunannya, dengan doktrin bahwa mereka itu lebih mulia dibandingkan manusia yang lainnya. Sehingga kita bisa melihat ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat banyak orang yang mengagungkan status sosial, jabatan, nasab dan lain sebagainya.
Zaman Rasulullah SAW manusia dan kemanusiaan menjadi perhatian yang serius dalam Islam. Ketika Rasulullah SAW pertama kali berdakwah, kondisi negeri Arab sangat jahiliyah, dirundung kebejatan moral dan pelecehan nilai-nilai kemanusiaan. Perang ada di mana-mana lantaran saling fanatik tentang suku mereka. Kaum wanita tidak dihormati sama sekali, karena tidak bisa dijadikan kebanggaan suatu suku, baik perang, menjadi pimpinan dan perundingan-perundingan. Perjudian dan eksploitasi ekonomi terhadap kaum miskin sangat marak.
Dengan demikian betapa berat penuh rintangan dakwah Nabi waktu itu. Beliau tidak hanya ingin mengembalikan masyarakat Arab untuk bertauhid kepada Allah, dari sifat paganisme dan menyembah berhala, tetapi juga menata moral masyarakat Arab yang sangat tidak bermoral. Maka dengan itulah Rasulullah merupakan Rasul yang diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak.
Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis Nabi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ
Artinya: Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak (HR Al-Baihaqi).
Baca juga: Naskah Khutbah Jumat 8 November 2024: Berbakti kepada Orangtua Tanpa Henti
Jamaah sidang jumat hafidzakumullah,