Selanjutnya, Ibnu 'Athaillah menjelaskan kadar makrifat, ketauhidan, dan ubudiyah seorang salik atau orang yang sedang menempuh jalan akhirat ditentukan seberapa totalitas dirinya bersandar kepada Allah.
Pertanyaannya, mengapa bersandar kepada Allah menjadi ukuran makrifat, ketauhidan, dan ubudiyah seorang salik? Sebab, orang-orang yang makrifat dan bertauhid akan selamanya melihat Allah.
Baca juga: Naskah Khutbah Jumat 8 Maret 2024, Penguatan Diri Membaca Al-Quran Dibulan Ramadhan 1445 Hijriah
Sementara orang yang sudah melihat Allah, maka akan selalu dekat dan musyahadah kepada-Nya. Ia akan fana dan tidak akan melihat perkara lain selain Allah. Sehingga yang terlihat dalam hatinya tak ada lagi selain Allah, aturan Allah, kekuasaan Allah, dan kehendak Allah.
Ketika terjerumus kepada satu kesalahan, orang yang bertauhid kepada Allah akan melihat kesalahannya itu sebagai perlakuan, hukuman, dan ketentuan Allah bagi hamba-Nya, yang tentunya menyimpan hikmah dan faidah yang harus disadari bahwa dirinya tidak maksum dan tidak terpelihara dari dosa.
Dimana kesalahannya itu harus menjadi perhatian agar tidak terulang, tidak boleh dilakukan lagi, serta harus hati-hati agar dirinya tidak terjerumus kepada kesalahan serupa.
Begitu pula ketika ada ketaatan yang keluar dari dirinya, maka ia tidak melihat dirinya unggul dan memiliki kekuatan. Sebab, ketaatan itu semata-mata merupakan daya dan kekuatan dari Allah.
Baca juga: Teks Singkat Naskah Khutbah Jumat 8 Maret 2024: Ramadhan Penuh Berkah, Momentum Jadi Lebih Baik
Sehingga dirinya tetap tenang terhadap takdir-takdir Allah. Hatinya tetap dalam cahaya-cahaya Allah. Baginya, tidak ada perbedaan antara baik dan buruk, mudah dan susah. Sebab, dirinya tenggelam dalam samudera ketauhidan, tetap khauf dan raja' (takut dan harap) kepada Allah. Khauf dan raja'-nya tetap sama dan berjalan bersamaan. Ia tetap takut meskipun sudah melakukan ketaatan. Dan ia tetap berharap rahmat Allah meskipun sudah melakukan kesalahan.
Demikian seperti yang telah dikemukakan dalam untaian hikmah Syekh Ibnu 'Athaillah berikut ini:
مِنْ عَلَامَاتِ الاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانِ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ
Artinya, "Di antara tanda bergantung pada amal adalah kurangnya harapan ketika tergelincir pada kesalahan."
Pensyarah kitab Mahasin al-Majalis, Ibnul 'Arif ash-Shanhaji menjelaskan bahwa orang-orang yang sudah sampai pada tingkatan makrifat akan selamanya bersama-sama dengan Allah, sebab dirinya yakin hanya Allah yang mengatur dan mengurus dirinya. Yakin hanya Allah yang memberi kekuatan taat bagi dirinya.
Tak heran jika lahir satu ketaatan dari dirinya, ia tidak menuntut pahala. Sebab, ia tidak melihat dirinya yang melakukan ketaatan tersebut. Lagi pula, amal ibadah dirinya belum tentu diterima Allah. Mengapa harus menuntut balasan dari Allah?
Baca juga: Naskah Khutbah Jumat 8 Maret 2024: Ramadhan Jadi Momentum Biasakan Diri Rajin Membaca Al-Quran
Begitu pula ketika terjerumus pada satu keburukan, dirinya segera memperbaikinya sebab hukuman Allah tetap bagi orang yang berbuat salah. Dosa harus segera ditaubati dan ditebus. Dirinya tidak melihat siapa pun kecuali Allah, baik dalam keadaan sulit maupun mudah, baik dalam keadaan taat maupun maksiat. Penglihatannya fokus pada Allah. Takut hanya pada Allah dan harapannya hanya kepada rahmat Allah.
Sedangkan orang yang tidak makrifat akan menisbahkan amal dan perbuatannya kepada dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia akan menuntut bagian dari amal dan kebaikannya, yaitu ganjaran dan pahala. Penyebabnya selain belum makrifat, dirinya masih bergantung pada amal. Ia merasa tenang akan keadaan ruhaninya.
Ketika terjerumus dalam kesalahan, ia akan berkurang harapannya. Ketika melakukan ketaatan, ia akan berkurang ketakutannya. Itu adalah bukti bahwa dirinya belum tajrid, belum terlepas dari sebab, dan belum makrifat pada Allah. Siapa pun yang melihat pertanda ini dalam dirinya, maka janganlah dirinya mengaku sudah memiliki kedudukan khusus di sisi Allah. Sebaliknya, ia baru termasuk orang baik dari kalangan awam.
Baca juga: Naskah Khutbah Jumat 8 Maret 2024: Berburu Ampunan, Rahmat, dan Surga di Bulan Puasa