Sejak 1960-an, Petani di Tasikmalaya Buat Kincir Air Atasi Sawah Kekeringan Akibat Musim Kemarau

Ncep (68), seorang petani di Kampung Sukasirna, Desa Manggungsari, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat

Penulis: Aldi M Perdana | Editor: ferri amiril
tribunpriangan.com/aldi m perdana
Ncep (68) petani asal Kampung Sukasirna, Desa Manggungsari, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, turun temurun membuat kincir air untuk atasi kekeringan sawahnya saat musim kemarau tiba. 

Laporan Jurnalis TribunPriangan.com, Aldi M Perdana

TRIBUNPRIANGAN.COM, KABUPATEN TASIKMALAYA - Ncep (68), seorang petani di Kampung Sukasirna, Desa Manggungsari, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, mengaku tidak pernah kesulitan mengairi sawahnya jika musim kemarau tiba.

Pasalnya, Ncep mampu membuat kincir air yang berbahan dasar bambu. Kincir air yang sebanyak tiga unit tersebut dibangun di Sungai Citanduy yang berjarak 100 meter dari sawahnya.

“Sejak tahun 1960-an, sudah bikin kincir air di sini. Mulai dari bapak saya, kakek, buyut,” ungkap Ncep kepada TribunPriangan.com saat ditemui di sawahnya pada Rabu (6/9/2023). 

“Bahkan katanya, kalau ini katanya sih ya, sejak zaman Jepang juga leluhur saya bikin kincir air untuk atasi kekeringan sawah akibat musim kemarau,” lanjutnya.

Akan tetapi, tambah Ncep, model kincir air yang dibuat leluhur-leluhurnya berbeda dengan yang dibuatnya sekarang.

“Dulu pakai bambu yang besar, gelondongan, berat sekali. Sekarang bentuknya (red: bentuk kontainer air pada kincir) lebih kecil, jadi lebih ringan,” jelasnya.

Ncep juga mengatakan, bahwa kincir air yang digunakannya saat ini baru dibuat kurang lebih tiga minggu yang lalu.

“Kalau kincir air yang ini, baru dibuat tiga minggu yang lalu, karena kincir air ini dibuat tiap tahun, tiap musim kemarau panjang tiba,” lengkapnya.

Pasalnya, sambung Ncep, kincir air yang acapkali dibuat olehnya bersama para petani di sana selalu terbawa arus sungai jika musim hujan tiba.

“Mau diikat kincirnya enggak bisa, karena arus sungainya deras, jadinya pasti kebawa. Makanya setiap tahun harus dibikin lagi-dibikin lagi,” paparnya.

Ncep juga mengatakan, bahwa setiap kali dirinya membuat kincir air, selalu dilakukan secara bergotong royong.

“Kalau bikin kincir di sini, kerjanya gotong royong. Kalau bahan dari sendiri, dana juga sendiri, habis kira-kira Rp 1,5 Juta,” ucapnya.

“Bikinnya mah gampang sih, bikin sendiri juga bisa. Yang susah itu, setelah jadi, masang kincir di sungainya, makanya perlu gotong royong,” pungkas Ncep. (*)

 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved