12 Tahun di Jazirah Arab, KH Muhammad Syabandi Pulang dan Dirikan Pesantren di Cilenga Tasikmalaya

12 Tahun di Jazirah Arab, KH Muhammad Syabandi Pulang dan Membangun Pesantren di Cilenga Tasikmalaya

Penulis: Aldi M Perdana | Editor: Gelar Aldi Sugiara
TribunPriangan.com/Aldi M Perdana
Gerbang masuk Pondok Pesantren Cilenga yang terletak di Kampung Cilenga, Desa Selawangi, Kecamatan Sariwangi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. 

Laporan Jurnalis TribunPriangan.com, Aldi M Perdana

TRIBUNPRIANGAN.COM, KABUPATEN TASIKMALAYA - Pondok Pesantren Cilenga yang terletak di Kampung Cilenga, Desa Selawangi, Kecamatan Sariwangi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, telah berdiri sejak 1918.

Pondok Pesantren tersebut didirikan oleh KH Muhammad Syabandi usai kepulangannya dari menuntut ilmu selama 12 tahun (1904 sampai 1917) di Jazirah Arab.

“Perjalanannya baik saat menuntut ilmu di sana (Jazirah Arab) selama 12 tahun maupun saat mendirikan Pondok Pesantren di kampung halamannya (Desa Cilenga), memang penuh perjuangan,” tutur Farhan Kamil (48) selaku anak dari generasi penerus Pondok Pesantren Cilenga kepada TribunPriangan.com pada Rabu (15/3/2023).

Baca juga: Ratusan Televisi Hangus dalam Kebakaran Rumah Kontrakan di Jalan Cisalak Kota Tasikmalaya

Pasalnya, saat KH Muhammad Syabandi berusia 17 tahun, oleh ayahnya dikirim ke Makkah untuk menuntut ilmu.

Di sana, dia menyaksikan sendiri gejolak politik di Jazirah Arab, seperti kejadian-kejadian pergantian pemimpin dan/atau kesultanan di luar wilayah Makkah yang disebabkan kemelut keluarga para raja atau hal-hal politis lainnya.

“Beliau menyaksikan sendiri, dan hal-hal seperti itu ‘kan berdampak terhadap masyarakatnya pada saat itu,” ujar Farhan.

Baca juga: Ridwan Kamil Apresiasi Siswa SMPN 3 Tasikmalaya yang Viral Belikan Teman Sekelas Sepatu Baru

Bahkan, KH Muhammad Syabandi sempat mendapat sindiran dari teman-teman Arab dari negara lain.

Sebab mengingat pada saat itu, negara Indonesia belum ada dan masih dikenal sebagai Hindia Belanda.

“Waktu itu mereka menyebut Al-Jawwi ‘Abid Huland, artinya orang Jawa (Indonesia) yang taat kepada Belanda. ‘Abid itu artinya ‘kan taat, mengabdi, atau mungkin menyembah, seperti itulah,” ungkap Farhan.

Baca juga: Kata Wagub Jabar soal Penyakit Kencing Tikus yang Muncul di Tasikmalaya dan Pangandaran

Pada 1914, KH Muhammad Syabandi sudah menyelesaikan belajarnya di Makkah dan berniat kembali ke kampung halamannya, Desa Cilenga, yang kini berada di Kabupaten Tasikmalaya.

Akan tetapi, pergolakan terkait keagamaan sempat mencuat di Jazirah Arab dan berdampak cukup besar.

Bahkan, peperangan pun terjadi akibat hal tersebut. Alhasil, hubungan KH Muhammad Syabandi dengan orangtuanya di kampung halamannya terputus sejenak.

Baca juga: Ada 3 Luka Dangkal pada Jenazah Pensiunan Polisi di Tasikmalaya

“Jadi, sejak tahun 1914 itu, beliau masih di Makkah, padahal sudah niat pulang. Sejak itu juga kiriman uang untuk bekal hidup terhenti,” jelas Farhan.

Kemudian, karena ekonomi masyarakat dalam keadaan darurat serta kelaparan terjadi di sana (Makkah), KH Muhammad Syabandi terpaksa menyambung hidup dengan menjual satu per satu kitab-kitab yang dimilikinya selama masa belajar di sana.

Bahkan, setelah kitab-kitab yang dimilikinya habis terjual, dia menyambung hidup dengan berjualan roti.

Baca juga: Hendak Wisata ke Kabupaten Tasikmalaya? Cuaca Hari Ini Diprediksi Cerah Berawan

“Dari tahun 1914, beliau tetap bertahan dengan kondisi seperti itu. Sampai akhirnya, KH Muhammad Syabandi bisa pulang ke kampung halamannya di Desa Cilenga (pada) tahun 1916,” jelas Farhan.

Tentu saja, kepulangannya ke tanah air tidak serta merta membawa barang-barang penting hasil masa belajarnya di Makkah, karena sudah habis terjual.

Baca juga: Bayi Perempuan yang Ditemukan dalam Kantung Kresek Hitam Dirujuk ke RSUD dr Soekardjo Tasikmalaya

KH Muhammad Syabandi pulang ke Desa Cilenga berbekal ilmu semasa belajarnya di Makkah, serta pengalamannya saat menyaksikan gejolak politik perkembangan di Jazirah Arab.

“Barulah pada 1917, setelah KH Muhammad Syabandi kembali ke Desa Cilenga, beliau menyelenggarakan pendidikan kepesantrenan di kampung halamannya meskipun pada saat itu bangunan pesantrennya masih panggung, lantainya juga masih bambu,” pungkas Farhan. (*)

Sumber: Tribun Priangan
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved