Namun, kadang pulang menjadi tidak tentu waktunya sesuai dengan habis-tidaknya bambu terjual.
Ajaib, keluarga ini bertahan puluhan tahun menempuh puluhan kilometer. Di kampungnya di Ciptasari, hanya keluarga ini yang bertahan sebagai penjual bambu dengan cara "ekstrem" ini.
"Di kampung saya, sekarang tidak ada lagi, tinggal keluarga saya saja, bertiga. Bambu dari Pamulihan. (Kalau jalan pegal?) Tetap saja pegal, tapi ya mencari nafkah untuk anak dan istri,"
"Anak sekarang (ada yang) SMP kelas 1," katanya seraya menyebut kalau bambunya habis segerobak, keuntungannya sekitar Rp150-200 ribu.
Di piggir Rosadi, duduk Ozo. Ozo tidak banyak bicara, dia konsentrasi penuh menikmati tembakaunya. Waktu ditanya berapa jumlah bambu yang dibawa, dia menjawab 21 batang, sama dengan isi gerobak lainnya.
"Saya sudah 30 tahun berjalan kaki jualan bambu, tapi sekarang ini dalam seminggu dua kali jualan saja. Di jalan tidak pernah ada yang malak. Aman saja," kata Ozo.
Jika tidak jualan, Ozo tidak melakukan pekerjaan lain. Dia tidak memilih profesi lain, karena merasa telah terbiasa dengan berjualan bambu dan merasa cukup dengan hasilnya.
Kadang-kadang istrinya mengomel soal penghasilannya, tetapi dia tidak gusar dengan omelan itu, sebab dia sadar bahwa mengomel bagian dari karakter perempuan yang menjadi istrinya itu.
"Alhamdullilah cukup untuk menghidupi keluarga. Ya namanya juga bibir perempuan, sering dijawab ya da kumaha kieu darmana, rejekinya begini, yang besar tidak ada yang penting halal," kata ayah anak satu ini.
Nana, yang paling senior di antara ketiga penjual bambu ini lebih sunyi lagi. Dia hanya tersenyum waktu ditanya apakah dengan umur 73 tahun dirinya masih kuat.
"Masih," katanya. (*)