RUU KUHAP Dinilai Dapat Timbulkan Ketidakpastian Hukum dan Konflik Dua Lembaga
isu RUU KUHAP apabila merujuk pada regulasi, maka membutuhkan keterbukaan dan partisipasi supaya masyarakat bisa menyampaikan haknya.
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Muhamad Nandri Prilatama
TRIBUNPRIANGAN.COM, BANDUNG - Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) diperlukan asas keterbukaan mulai dari pembentukan perundangan, perencanaan sampai ke peninjauan yang dapat diakses ke publik.
Pernyataan itu disampaikan oleh Guru Besar UPI, Prof Cecep Darmawan dalam diskusi 'Aspek Krusial dalam Revisi UU KUHAP, Perubahan, Dampak, dan Implementasi di Jalan Gegerkalong, Kota Bandung, Jumat (28/2).
Menurut Prof Cecep, isu RUU KUHAP apabila merujuk pada regulasi, maka membutuhkan keterbukaan dan partisipasi supaya masyarakat bisa menyampaikan haknya.
Baca juga: Rancangan KUHAP Baru Dikhawatirkan Jadikan Kejaksaan Agung Miliki Kewenangan Lebih
"Penyelidikan dan penyidikan itu kan tugas polisi. Maka, jangan diberikan pula ke Kejaksaan. Kalau ada kekurangan selama ini mestinya ya perbaiki bukan justru dialihkan. Jika itu terjadi, maka bisa timbulkan ketidakpastian hukum, konflik kepentingan dua lembaga, dan sisi akurasi penyelidikan akan bermasalah," ujarnya seraya menegaskan dahulukan naskah akademiknya, hingga melihat urgensi dari adanya pembentukan RUU ini.
Hal senada diungkap Dosen Al Ghifari, Deni Rismansyah.
Dia menilai ada perbedaan antara UU lama dengan RUU, semisal UU lama memiliki konsep di mana ada fungsi jaksa, polisi, dan kehakiman.
Namun dalam RUU KUHAP memakai konsep pidana terpadu di mana di dalamnya ingin mencoba pengendalian perkara dengan dipusatkan di Kejaksaan.
"Kalau RUU ini dipaksakan dipakai, maka jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sama dengan Kapolri. Tapi, polisi nantinya bisa di bawah kejaksaan. Itu bisa mengacaukan pertanggungjawaban ke jaksa atau Presiden," katanya.
Selain itu, bila RUU ini dilaksanakan, kata dia, maka akan muncul masalah lain, semisal dalam hal pengawasan.
Lembaga kejaksaan ada komisi jaksa yang melakukan pengawasan sama dengan kepolisian melalui kompolnas.
"Masalah, apakah komisi kejaksaan ini sudah bisa mengawasi atau mengontrol pada jaksa yang mendapatkan kewenangan ini. Lalu, bila dilihat seperti kompolnas, sisi rekrutmennya kan banyak perwira tinggi purnawirawan yang direkrut," katanya.
Deni pun mengharapkan adanya reformasi pada tubuh kepolisian yang harus lebih ketat lagi dalam perekrutan anggota kepolisian sehingga nantinya bisa menghasilkan polisi yang berintegritas dan profesional. Kemudian, terkait kompolnas, katanya pun harus direformasi.
"Jangan banyak perwira yang pensiun untuk di kompolnas baik dari sisi jumlah maupun kualitatifnya. Lalu, dari civil society harus diperkuat dengan perlunya partisipasi masyarakat dalam rancangan hingga pengawasan RUU ini," ujarnya.
Pada prinsipnya, Deni berharap kepolisian mesti kembali pada hakikatnya sebagai alat negara bukan alat penguasa. Sebab, bila menjadi alat penguasa maka sudah melupakan sumpah kepolisian.
"Polisi itu pengayom maka jangan mau menjadi alat penguasa. Kewenangan besar tanpa diimbangi pengawasan dari lembaga independen dan civil society maka cenderung abuse of power," katanya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.