Jejak Macan Tutul

Heboh Macan Tutul Muncul di Kebun Warga di Sukabumi, Jejaknya Ditemukan Dekat Danau Batukarut

Heboh macan tutul (Panthera pardus melas) muncul di kebun warga di Sukabumi, baru-baru ini, ditemukan dekat objek wisata Danau Batukarut

Editor: Machmud Mubarok
Dok Warga
Warga saat mengecek jejak dugaan Macan Tutul di Sukaraja Sukabumi. 

Laporan Kontributor Tribunjabar.id, Dian Herdiansyah. 

TRIBUNPRIANGAN.COM, SUKABUMI - Heboh macan tutul (Panthera pardus melas) muncul di kebun warga Kampung Pulopanggang Batukarut, Desa Langensari, Kecamatan Sukaraja, Sukabumi, baru-baru ini.

Jejak kaki satwa liar itu ditemukan tersebar di kebun milik warga yang tidak jauh dari objek wisata Danau Batukarut.

Ketua Pemuda Kampung Pulopanggang, Yuda Ahmad Fahreza, warga menduga jejak kaki itu milik binatang buas seperti macan tutul (Panthera pardus melas). 

"Jejak-jejak kaki satwa liar pertama ditemukan Jumat pagi oleh warga yang tinggal di sekitar kebun. Diketahui pemilik kebun dan menyebar kepada warga lainnya," ujarnya, Senin (27/05/2024).

Menurut Yuda mengenai temuan jejak kaki satwa liar tersebut sudah dilaporkan kepada aparat pemerintahan melalui pesan whatsapp group. Juga sudah berkomunikasi dengan para penggiat satwa liar agar dapat secepatnya ditangani. 

Baca juga: Harimau Jawa Diduga Masih Eksis di Hutan Sukabumi Selatan, Temuan Helai Bulu Jadi Bukti

Penemuan jejak kaki satwa liar di kebun milik warga merupakan yang ketiga kalinya. Sekitar sebulan setengah lalu ditemukan di lahan kebun yang sama. Lalu pada sepuluh hari juga ditemukan jejak yang sama. 

"Sekarang yang ketiga kali. Namun saat yang pertama dan kedua, warga yang menemukan dan melihat tidak mengabarkan kepada warga lain," ujar dia. 

"Informasinya yang pertama ukuran jejak kakinya kecil, nah yang kedua dan ketiga lebih besar," sambung Yuda. 

Di sekitar lokasi penemuan jejak-jejak kaki satwa itu, lanjut Yuda, merupakan permukiman dan kebunnya berbatasan dengan jalan penghubung antar kampung dan desa. Juga  terdapat kandang ternak domba

"Namun kandang ternak domba ini berpagar tinggi sekitar dua meter. Awalnya dibuat pagar oleh pemiliknya untuk mencegah pencurian domba," ujar dia. 

Yuda berharap agar jejak-jejak kaki satwa liar ini dapat secepatnya diketahui atau teridentifikasi jenisnya. Namun warga menduga jejak kaki itu milik binatang buas seperti macan tutul. 

"Kami ingin secepatnya jenis satwanya terungkap. Bila memang benar macan tutul secepatnya ada solusi terbaik," harap Yuda.

Baca juga: Macan Tutul Terekam Kamera Berkeliaran di Pegunungan Sanggabuana Purwakarta, Tak Hanya di Karawang

Harimau Jawa Masih Eksis

Beberapa waktu lalu, Penampakan harimau Jawa terkonfirmasi di Meru Betiri Taman Nasional, Jawa Timur pada 1976. Saat ini, hanya harimau Sumatera yang masih tersisa di Indonesia. Setelah 43 tahun, harapan baru muncul.

Peneliti pusat riset biosistematika dan evolusi badan riset dan inovasi nasional (BRIN), Wirdateti mengatakan ada temuan sehelai rambut harimau Jawa di pagar pembatas antara kebun rakyat dengan jalan desa Cipeundeuy, Sukabumi Selatan, Jabar.

"Rambut itu ditemukan Kalih Reksasewu atas laporan Ripi Yanuar Fajar yang berpapasan dengan hewan mirip harimau Jawa yang dikabarkan telah punah pada 19 Agustus 2019. Ripi ini penduduk lokal berdomisili di Desa Cipeundeuy, Sukabumi Selatan," katanya, Minggu (31/3/2024).

Serangkaian analisis DNA komprehensif sudah dilakukan. Wirdateti bersama tim menyimpulkan sampel rambut harimau yang ditemukan di sana merupakan spesies panthera tigris sondaica atau harimau Jawa, dan termasuk kelompok sama dengan spesimen harimau Jawa koleksi museum zoologicum bogorinse pada 1930.

"Keyakinan itu diperkuat prosedur ilmiah lainnya yang sudah dilakukan. Selain temukan rambut, ditemukan pula bekas cakaran mirip harimau yang semakin menguatkan kami untuk lakukan observasi lanjutan," ucapnya.

Dia melanjutkan, identifikasi bersama tim dengan melakukan studi perbandingan sampel rambut harimau yang ditemukan di Sukabumi Selatan dengan spesimen harimau Jawa koleksi MZB.

Lalu, beberapa subspesies sampel harimau lain, yakni harimau Bengal, Amur, dan Sumatera, serta macan tutul Jawa yang digunakan sebagai kontrol.

"Hasil perbandingan antara sampel rambut harimau Sukabumi menunjukan kemiripan 97,06 persen dengan harimau Sumatera dan 96,87 persen dengan harimau Benggala.

Sedangkan spesimen harimau Jawa koleksi MZB punya 98,23 persen kemiripan dengan harimau Sumatera," katanya.

Hasil studi pohon filogenetik, kata Teti, menunjukkan sampel rambut harimau Sukabumi dan spesimen harimau koleksi MZB berada dalam kelompok sama, namun terpisah dari kelompok subspesies harimau lain.

"Kami lakukan wawancara mendalam dengan Ripi Yanuar yang melihat harimau itu. Wawancara kami lakukan saa survei 15-19 Juni 2022 di lokasi ditemukannya sampel rambut," katanya.

Harimau Jawa itu hewan endemik pulau Jawa dan tersebar luas di hutan dataran rendah, semak belukar, dan perkebunan. Sejak hewan ini diburu karena dianggap pengganggu dan habitatnya diubah menjadi lahan pertanian juga infrastruktur, keberadaannya pun semakin hilang.

"Tapi, kami tegaskan perlu konfirmasi dengan studi genetik dan lapangan lebih lanjut untuk memastikan apakah harimau Jawa masih ada di alam liar atau tidak," katanya. (*)

Terlihat di Gunung Gede Pangrango

Dua ekor macan tutul jawa tertangkap kamera pengintai di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) Jawa Barat.

Berdasarkan rekaman video yang diunggah di akun Instragam resmi Balai Besar TNGGP terlihat, kedua macan itu tengah melenggang beriringan di jalan setapak.

Kepala Balai Besar TNGGP Sapto Aji Prabowo mengatakan, kendati memiliki ciri fisik yang berbeda, namun sejatinya kedua macan itu berasal dari spesies yang sama.

“Hanya beda pigmen saja, ada totol-totol hitam, dan yang warnanya hitam legam yang biasa juga disebut macan kumbang,” kata Sapto saat dihubungi melalui telepon, Minggu (26/5/2024) malam.

Menurut Sapto, eksistensi macan tutul sebagai top predator di kawasan konservasi tersebut mengindikasikan keseimbangan ekosistem di TNGGP terjaga dengan baik dan lestari.

“Berdasar hasil monitoring dan survei total pada 2021, jumlahnya di dalam kawasan TNGGP ada 24 ekor.”

“Tahun ini, sedang dilakukan survei macan tutul di seluruh wilayah Jawa termasuk di TNGGP. Apakah nanti hasilnya atau jumlahnya masih sama atau bertambah, mudah-mudahan saja bertambah, ya,” ujar dia.

Terkait temuan ini, Sapto meminta pendaki untuk tidak panik dan khawatir karena keberadaan hewan tersebut terpantau jauh dari jalur pendakian.

Kendati begitu, dia tidak bersedia menyebutkan lokasi keberadaan Panthera pardus yang terekam kamera trap tersebut. 

“Tidak boleh disebutkan, itu etika pemberitaan untuk satwa liar karena rawan perburuan,” ujar Sapto. “Insting satwa liar itu akan menghindar dari aktivitas manusia. Kecuali diundang, ya." "Misal, pendaki yang buang sampah atau sisa makanan sembarangan, itu bisa membuat perubahan perilaku dari satwa tersebut," imbuh dia.

Kini Jadi Pesakitan

Dulu macan tutul jawa (Panthera pardus melas) dianggap simbol kemakmuran. Keberadaannya membuat sawah masyarakat bebas hama babi hutan. Kini, nasibnya seperti pesakitan.

Terkurung di Pulau Jawa, masa depannya suram di ambang kepunahan. Sorot kedua matanya tajam mengamati siapa saja yang mendekat.

Di dalam kandang besi berukuran 2 meter x 1,5 meter, ia tidak mengubah posisi siaga, mengeram dengan posisi tubuhnya merunduk.

Hanya sesekali ia memamerkan gigi taring tumpul termakan usia. Berbeda dengan saudara-saudaranya, macan tutul ini sangat tenang.

Hanya beberapa kali ia menubrukkan badan dan kepala besarnya mencoba menerobos kandang.

Tinggal hanya 100 meter dari jalan setapak membuatnya terbiasa melihat manusia. Itulah Jampang, macan tutul jawa yang baru ditangkap di hutan gundul Cijengkol, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Jampang tidak diterima warga setempat. Ia dibenci karena sebagai pelaku pencurian sapi, kambing, hingga anjing milik warga setempat.

”Warga di sini menamakannya Selang. Nama itu diberikan sebagai rasa hormat dan takut. Sekarang karena terlalu sering memakan hewan peliharaan, Selang tidak diinginkan,” kata Peni, warga Girimukti.

Bersaing hidup di lahan tandus membuat hubungan baik itu kini renggang. Jangankan macan tutul, manusia saja sulit hidup di tempat seperti itu.

Meski belum ada laporan macan tutul jawa menyerang manusia, warga khawatir sapi dan kambing yang jadi sumber penghasilan utama habis digondol macan.

”Kami ingin empat macan tutul yang masih tersisa dibawa pergi dari sini. Kalau semua sapi dan kambing habis, kami khawatir manusia dimangsa juga,” ujar Suryana, petani Girimukti.

Konflik macan tutul jawa dan manusia di Jawa Barat seperti mewakili ironi lingkungan tidak berkesudahan. Meski ditetapkan sebagai lambang Jawa Barat, habitat macan tutul jawa di Jabar diperkirakan mayoritas hancur berantakan.

Konflik dengan manusia

Data Walhi Jabar tahun 2010-2011 menyebutkan, hutan di Jabar tidak lebih dari 816.603 hektar. Jumlah itu hanya sekitar 18,2 persen dari total luas wilayah Jabar sekitar 4,4 juta hektar.

Keadaan itu membuat konflik manusia dan satwa liar sangat mudah terjadi. Kasus Jampang menjadi contoh.

Punya habitat asli di hutan primer dengan daya jelajah hingga 16 kilometer persegi per ekor, Jampang tinggal di hutan sekunder dan produksi, di antara alang-alang yang terbakar dan kebun karet serta teh.

Hendra, anggota Tim Penyelamatan Satwa Liar Taman Safari, mengatakan, kondisi ini rentan memicu babi hutan turun gunung mencari makanan.

Permukiman masyarakat dengan padi tadah hujan jadi incaran utama. Jika itu terjadi, macan tutul jawa akan mudah ditemui di permukiman masyarakat.

”Bukan hanya perlindungan habitat macan tutul, zonasi makan babi hutan juga harus diperhatikan. Perambahan hutan demi alasan ekonomi kerap menyebabkan babi hutan masuk permukiman dan pasti diikuti macan tutul jawa,” ujarnya.

Pemerintah Indonesia jelas belum mendukung keberadaan macan tutul ini hidup di Pulau Jawa. Terkesan bukan satwa prioritas dilindungi meski jumlahnya menurut International Union for Conservation of Nature tidak lebih dari 250 ekor pada tahun 2008.

Kejadian konflik dengan manusia pun sangat tinggi. Dalam setahun, terjadi 4-5 kali konflik di Pulau Jawa. Beberapa di antaranya berujung pembunuhan.

Dua kasus kematian terjadi di Kabupaten Ciamis, Jabar, dan Gunung Semeru, Jatim. Kematian macan di Banjarnegara yang terjadi pada Sabtu (19/10/2013) menambah kisah kelam.

Luka parah di leher akibat tali jerat babi hutan jadi penyebabnya. Prihatin dengan kondisi ini, sekitar 20 pemerhati kucing besar Indonesia membuat protokol perlindungan macan tutul jawa.

Executive Officer Forum Harimau Kita Wahyudi mengatakan, protokol itu akan mengatur mitigasi dan penanganan pasca-perlindungan macan tutul jawa.

Protokol ditargetkan rampung dan diserahkan pada Kementerian Kehutanan tahun ini. ”Membunyikan meriam karbit hingga menyimpan kotoran kucing yang lebih besar seperti di sekitar perlintasan macan tutul jawa juga digagas. Tujuannya, mencegah macan tutul masuk permukiman,” katanya.

Nyaris kehilangan nyawanya, Kuray dan Jagur kini jadi madu di Taman Satwa Cikembulan, Garut. Sejoli itu tak pernah mau dipisahkan.

Setiap waktu nyaris dihabiskan berdua. Manajer Taman Satwa Cikembulan Rudi Arifin mengatakan, perjodohan ini sangat menggembirakan karena macan tutul jawa terkenal selektif memilih pasangannya.

Ia berharap perjodohan diikuti kehamilan dan kelahiran bayi macan. Keberhasilan menjaga keberadaan macan tutul jawa di penangkaran sejatinya harus disyukuri. Hasil ini bisa menjadi indikator penting.

Hutan di Pulau Jawa sudah tidak ramah lagi karena digerus manusia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Macan Tutul Jawa, Dulu Dihormati, Kini Dicaci", Klik untuk baca: https://sains.kompas.com/read/2013/11/04/1302260/Macan.Tutul.Jawa.Dulu.Dihormati.Kini.Dicaci?page=all.

 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved