UKT Mahal

Kemendikbud Bilang Kuliah Itu Tersier, Bukan Wajib Belajar, Warganet, 'Goodbye Indonesia Emas 2045'

Kemendikbud Ristek bilang pendidikan di perguruan tinggi bersifat tersier, bukan wajib belajar, UKT mahal itu pilihan, warganet gimana mau Indonesia

|
Editor: Machmud Mubarok
Istimewa/kemendikbud.go.id
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengatakan bahwa pendidikan di perguruan tinggi bersifat tersier. 

TRIBUNPRIANGAN.COM - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengatakan bahwa pendidikan di perguruan tinggi bersifat tersier.

Hal tersebut dipaparkan Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Prof. Tjitjik Tjahjandarie.

Menurutnya, pendidikan di perguruan tinggi hanya ditujukan bagi lulusan SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah yang ingin mendalami lebih lanjut suatu ilmu.

"Tetapi dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan ini adalah tersiery education. Jadi bukan wajib belajar," kata Prof. Tjitjik di Kantor Kemendikbud Ristek, Jakarta Selatan, Rabu (15/5/2024).

Prof. Tjitjik mengatakan, tidak semua lulusan SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah harus melanjutkan pendidikannya perguruan tinggi karena sifatnya adalah pilihan.

Meski demikian, kata Prof. Tjitjik, pemerintah tetap berusaha untuk memberikan akses pendidikan tinggi ke semua kalangan masyarakat baik yang mampu atau tidak.

Baca juga: Jumlah Formasi CPNS dan PPPK 204 Kemendikbud, Kemenag, dan Kemenkes

Baca juga: BEGINI Cara Cek Penerima Bansos PIP SiPintar Kemendikbud 2024, Apakah Namamu Sudah Terdaftar?

Salah satu caranya dengan mewajibkan perguruan tinggi negeri (PTN) untuk membuat kelompok dalam penentuan Uang Kuliah Tungga (UKT) mahasiswa. PTN wajib menerapkan biaya UKT paling kecil sebesar Rp 500.000 untuk kelompok satu dan Rp 1 juta untuk kelompok dua.

"Dari kelompok UKT dua ke ketiga biasanya tidak naik signifikan," ujarnya.

Prof. Tjitjik menjelaskan, karena pendidikan tinggi termasuk tersiery education, maka pendanaan pemerintah lebih difokuskan untuk membantu program pendidikan wajib belajar sembilan tahun.

Sementara perguruan tinggi dibantu melalui dana bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) yang besarannya belum menutupi keseluruhan biaya kuliah.

Oleh karena itu, pemerintah masih memerlukan bantuan dana untuk bergotong royong memajukan Indonesia melalui penghasilan sumber daya manusia unggul dari perguruan tinggi.

"Mau tidak mau diperlukan peran serta masyarakat kita sebutnya ini gotong royong untuk mendidik bangsa ini," pungkas Prof. Tjitjik.

Masalah UKT ini pun kian memanas karena di sejumlah kampus, terjadi demonstrasi mahasiswa menolak UKT mahal.

Warganet di media sosial pun bereaksi atas UKT yang mahal ini.

"Ngeliat UKT naik ugal-ugalan gini, dan kalau dari Kemendikbud beneran tidak ada usaha untuk menyelesaikan ini, kayaknya beneran say goodbye buat Indonesia Emas 2045 deh ini. Udah jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi cuma 10 persen, ini pula UKT nya ga ngotak," cuit  Prima di akun @primawansatrio.

Pegiat medsos, Dokter Tifa pun berkomentar.

"Jumlah Sarjana Indonesia cuma 4,6 persen dr seluruh penduduk. Jumlah Sarjana di negara-negara maju anggota G7 rata-rata 50 persen. Kalo Pejabat Kemendikbud bilang Pendidikan Tinggi itu kebutuhan tersier, artinya Pemerintah mmg ingin rakyat terus bodoh, negara terus miskin," cuit akun Dokter Tifa @DokterTifa.

UKT Naik

Banyak Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk para mahasiswa baru tahun 2024. Beberapa PTN yang menaikkan UKT ini diminta lebih bersikap bijak dan mengutamakan asas keadilan.

Karena itu wajib ada UKT kelompok 1 sebesar Rp 500.000 dan UKT Kelompok 2 sebesar Rp 1 juta per semester dalam kategori UKT semua jalur. 

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) melalui Pelaksana Tugas (Plt) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) Sekretaris Ditjen Diktiristek, Tjitjik Srie Tjahjandarie menjelaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi bersifat inklusif.

Artinya dapat diakses oleh berbagai lapisan masyarakat yang memiliki kemampuan akademis tinggi.

Untuk itu dalam penetapan besaran UKT, pemerintah mewajibkan ada dua kelompok UKT yang harus ada. Proporsi UKT 1 dan UKT 2 sebesar minum 20 persen.

Hal ini untuk menjamin masyarakat tidak mampu namun memiliki kemampuan akademik tinggi dapat mengakses pendidikan tinggi (tertiary education) yang berkualitas.

“Dalam penetapan UKT, wajib ada kelompok UKT 1 dan UKT 2 dengan proporsi minimum dua puluh persen. Ini untuk menjamin akses pendidikan tinggi berkualitas bagi masyarakat yang kurang mampu,” jelas Tjitjik, dilansir dari rilis Kemendikbud.

PTN punya otonom UKT kelompok 3 ke atas Lebih lanjut, Tjitjik menjelaskan bahwa perguruan tinggi memiliki kewenangan otonom untuk menetapkan UKT kelompok 3 dan seterusnya.

Namun, Tjitjik mengingatkan bahwa penetapan besaran UKT tetap ada batasannya yaitu untuk UKT kelompok paling tinggi maksimal sama dengan besaran Biaya Kuliah Tunggal (BKT).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang pendidikan Tinggi mengamanatkan bahwa pemerintah perlu menetapkan Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT). 

SSBOPT merupakan acuan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi yang secara periodik ditinjau dengan mempertimbangkan capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah. SSBOPT menjadi dasar pengalokasian Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dan penetapan BKT.

BKT merupakan dasar penetapan UKT untuk setiap program studi diploma dan sarjana. Pemerintah hanya bisa intervensi 30 persen BOPTN Tjitjik menjelaskan, saat ini intervensi pemerintah melalui BOPTN baru bisa menutup sekitar 30 persen biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Untuk itu, perlu peran serta masyarakat bergotong royong melalui mekanisme pendanaan UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI).

Selain itu, Tjitjik juga mendorong perguruan tinggi mengoptimalkan pengelolaan aset untuk menambah pendapatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) non-UKT dan IPI.

Tjitjik tegaskan, bahwa saat ini Ditjen Diktiristek terus berkoordinasi dengan para pimpinan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) agar penyesuaian UKT tidak melebihi batas standar pembiayaan yang telah ditentukan, harus sesuai aturan yang berlaku. Ia juga mengimbau PTN untuk terus melakukan sosialisasi terkait UKT kepada para pemangku kepentingan masing-masing.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Soal UKT Mahal, Kemendikbud: Pendidikan Tinggi Bersifat Tersier, Tidak Wajib", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/edu/read/2024/05/16/163742671/soal-ukt-mahal-kemendikbud-pendidikan-tinggi-bersifat-tersier-tidak-wajib.

 

Sumber: Kompas
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved