Kisah Tembakau Mole di Sumedang, Pita Cukai Bisa Capai Rp 30 Miliar

Tembakau mole di Kabupaten Sumedang adalah komoditas yang melegenda. Konon, nama mole diselewengkan dari kata mooi dalam bahasa Belanda yang berarti

Editor: ferri amiril
Tribunpriangan.com/kiki andriana
Seorang anak bermain layangan di pasar lelang tembakau di Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, Rabu (3/5/2023). 

Laporan Kontributor TribunPriangan.com Kiki Andriana dari Sumedang

TRIBUNPRIANGAN.COM, SUMEDANG - Tembakau mole di Kabupaten Sumedang adalah komoditas yang melegenda. Konon, nama mole diselewengkan dari kata mooi dalam bahasa Belanda yang berarti indah. 

Tembakau iris lembut ini, indah pula harga dan kualitasnya. Pita cukai bisa capai Rp 30 miliar per tahun.  

Tak sampai lima menit berjalan kaki ke belakang alun-alun Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang terdapat sebuah pasar lelang tembakau yang berdiri di atas lahan 2.700 meter persegi. Pasar ini dibawah pengelolaan UPTD Agrobisnis Tembakau Tanjungsari

Tembakau iris dari para petani di sekitar Tanjungsari, Sukasari, Darmawangi, Sidaraja, Parupug, Cimanggung, bahkan Cigasti, Kabupaten Garut sekalipun dibawa ke tempat ini setiap Selasa dan Sabtu. Para pembeli baik partai kecil maupun sebagian bandar besar datang ke tempat ini untuk bertransaksi. 

Mole adalah tembakau yang irisannya sangat tipis. Tak ditemukan tembakau dari daerah lain yang menyamai kerapian dan konsistensi irisan tembakau mole khas Sumedang. Tembakau ini umumnya dinikmati dengan cara linting.  

"Di Sumedang ini tembakau berkesinambungan dengan kualitas istimewa. Bayangkan, jika di daerah lain tembakau hanya bisa ditanam sekali, di Sumedang setahun bisa ditanam dan dipanen sampai tiga kali," kata Dadi Runadi, Kepala UPTD Agrobisnis Tembakau Tanjungsari, Rabu (3/5/2023). 

Menurut Dadi, produktivitas tembakau di Sumedang yang bagus ini tak lepas dari kemahiran para petani yang turun temurun dalam mengolah tembakau, juga perhatian pemerintah atas keberlangsungan pengolahan tembakau mole itu (supply and demand). 

Meski dalam catatan UPTD Agrobisnis Tembakau Tanjungsari, lahan tanam tembakau di Sumedang hanya seluas 2.528 hektare dan sesuai aturan Indikasi Geografis (IG) tembakau, tidak boleh lahan tersebut meluas atau menyempit. 

"Lahan harus sebegitu saja karena terikat aturan. Maka, petani dan pengolah bisa bereksplorasi kualitas tembakau mole. Kualitas tentu berpengaruh kepada harga," kata Dadi. 

Tembakau mole ada beragam kualitas. Mulai dari daun tembakau yang paling bawah dan pertama dipanen dengan kualitas pasaran (Obreg), hingga kualitas premium yang berarti daun tembakau yang dipanen makin ke pucuk. 

Harganya pun menyesuaikan kualitas. Dari yang kualitas pasar hingga premium kisaran harganya Rp 30-120 ribu per kilogram. 

Di Sumedang ada 20 pengepul dan 33 pengusaha tembakau mole. Bedanya pengepul dan pengusaha, pengepul hanya menerima tembakau untuk dijual kembali, sementara pengusaha melakukan pengolahan tembakau dari daun hingga menjadi produk jadi. 

Pengusaha yang punya produk inilah yang harus belanja pita cukai. Sejatinya pita cukai dibebankan kepada konsumen, namun para pengusaha harus mengeluarkan dana talang untuk pembelian cukai itu. Dana itu akan kembali ketika produk terjual. 

"Sebanyak 33 pengusaha itu, cukai bisa mencapai Rp 30 miliar. Ada dua pengusaha yang belanja cukainya di atas Rp 5 miliar," katanya. 

Tembakau mole perlu didekati dengan pendekatan kebudayaan. Bahwa menghisap tembakau iris di Sumedang sudah menjadi perilaku warga yang telah berlangsung lama. 

"Di saat Covid-19 melanda, tembakau mole malah mengalami peningkatan permintaan. Mungkin pula karena harganya sesuai dengan kondisi pembeli saat itu," kata Dadi.(*)

Sumber: Tribun Priangan
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved